News  

Jika Donald Trump divonis bersalah

Jika Donald Trump divonis bersalah

Jakarta (ANTARA) – Presiden Rusia Vladimir Putin disebut-sebut tengah menantikan Pemilu Amerika Serikat 2024, sebelum berpikir tentang mengakhiri perangnya di Ukraina.

Putin menantikan kursi kepemimpinan Amerika Serikat diduduki kembali oleh Donald Trump, karena Trump akan menguntungkan posisi politiknya, baik di dalam negeri Rusia maupun dalam perang di Ukraina.

Putin mungkin bukan satu-satunya pihak luar Amerika Serikat yang mengharapkan Trump berkuasa kembali setelah menjadi penguasa Gedung Putih dari 20 Januari 2017 sampai 20 Januari 2021.

Namun, bakal calon presiden Amerika Serikat terkuat dari Partai Republik itu tengah dihadapkan dengan rangkaian kasus hukum yang bisa membuatnya terpental dari Pemilu 2024.

Mantan Presiden Amerika Serikat itu menghadapi tiga gugatan hukum sekaligus, dua gugatan di pengadilan federal, dan satu lainnya di tingkat negara bagian.

Dakwaan federal pertama adalah tuduhan dia menyimpan secara tidak sah dokumen rahasia negara di kediamannya di Miami, sedangkan dakwaan federal kedua adalah dugaan persekongkolan dia dengan sejumlah orang untuk membatalkan hasil Pemilu 2020.

Sementara di tingkat negara bagian, Trump menghadapi dakwaan di New York perihal dugaan memalsukan catatan bisnisnya, termasuk saat memberikan uang tutup mulut kepada seorang bintang film porno menjelang Pemilu 2016.

Dalam dakwaan federal, Trump dikenai total 44 sangkaan, termasuk empat dakwaan dalam kasus membatalkan hasil Pemilu 2020, yang di antaranya tuduhan menghalangi-halangi penyelidikan hukum.

Untuk kasus pemalsuan catatan bisnis, 34 tuduhan sudah menanti Trump. Dengan demikian, total 78 dakwaan dialamatkan kepada Trump.

Jika divonis bersalah dalam tiga kasus itu, maka Trump bisa dijatuhi vonis penjara puluhan tahun.

Namun demikian, menurut pakar-pakar hukum di Amerika Serikat, hanya kasus dugaan berusaha membatalkan hasil Pemilu 2020 yang mungkin mengantarkan Trump ke penjara.

Bisa rusak citra politik

Pertanyaannya, apakah jika Trump telah divonis bersalah dan apalagi sampai dipenjara, dia tak boleh mencalonkan diri lagi sebagai Presiden Amerika Serikat?

Ternyata, tak seperti kebanyakan negara demokrasi liberal, Amerika Serikat tak mengenal istilah karena seseorang sudah divonis bersalah oleh pengadilan, maka dia dilarang mencalonkan diri sebagai presiden.

“Konstitusi Amerika Serikat tidak menyebutkan bahwa seorang terdakwa yang terbukti bersalah tak boleh mencalonkan diri, bahkan kalau dia dipenjarakan,” kata pakar hukum Alan Lichtman, dari American University kepada DailyMail.com.

Konstitusi Amerika Serikat hanya menyebutkan tiga syarat menjadi calon presiden, yakni sudah berusia 35 tahun atau lebih, lahir di Amerika Serikat dan tinggal di Amerika Serikat minimal 14 tahun.

Bahkan, kalaupun Trump dalam status narapidana, tapi memenangkan pemilu, konstitusi Amerika Serikat masih membolehkannya menjabat posisi politik yang dia menangkan dalam pemilu.

Hal ini pernah terjadi pada 1920 ketika Eugene V. Debs tetap bisa mencalonkan diri untuk Partai Sosialis, sekalipun dia divonis bersalah dan kemudian dipenjara karena menentang wajib militer untuk Perang Dunia Pertama.

Lantas, jika Trump tetap bisa mengikuti pemilu dan bahkan penjara tak bisa membatalkan kemenangannya dalam pemilu, mengapa sejumlah kalangan di Amerika Serikat ngotot menyeret mantan presiden itu ke pengadilan?

Jawabannya, karena pihak-pihak yang tak menginginkan Trump berkuasa kembali, entah itu Partai Demokrat atau kekuatan lain dalam Partai Republik, berharap vonis pengadilan bisa mencederai atau bahkan merusak citra Trump di hadapan pemilih, sehingga tak dipilih saat Pemilu 2024.

Tetapi, tidakkah itu membuat peradilan terhadap Trump menjadi terlihat sarat dengan muatan politik seperti ditudingkan oleh Trump sendiri?

Bisa saja begitu, namun Amerika Serikat tak akan cepat mengambil kesimpulan sampai ada keputusan dari pengadilan. Dalam kata lain, rakyat AS sangat menghormati putusan hukum, bagaimana pun korup sistem hukum dalam pandangan mereka.

Yang pasti, ketika citra seorang pemimpin atau calon pemimpin dianggap sudah rusak oleh rakyat, maka sebagian besar rakyat Amerika Serikat akan berpaling dari calon dengan citra sudah rusak.

“Swing voter” khawatir Trump

Jajak pendapat Reuters/Ipsos yang dirilis 3 Agustus 2023 menguatkan premis itu. Menurut jajak pendapat ini, bahkan separuh dari total pemilih Partai Republik menyatakan tak akan memilih Trump jika dia divonis bersalah oleh pengadilan. Angka itu semakin besar lagi, mencapai 52 persen, jika Trump dijatuhi hukuman penjara.

Dan itu baru Partai Republik. Bayangkan dengan pemilih Partai Demokrat yang tanpa kasus ini pun sudah menyatakan tak akan memilih Trump, walau mereka beranggapan petahana Joe Biden sudah terlalu tua untuk kembali menjadi Presiden Amerika Serikat.

Selain dua kubu itu, tentu yang lebih menentukan adalah kelompok suara mengambang atau “swing voter”, yang proporsinya mungkin tidak lebih besar dari pemilih-pemilih yang mengidentifikasikan dirinya sebagai republiken atau demokrat. Kelompok ini adalah segmen pemilih yang lebih rasional, tetapi sangat menentukan kemenangan pemilu di Amerika Serikat.

Menurut sejumlah kalangan, di antaranya surat kabar Washington Post, mayoritas pemilih suara mengambang menyatakan tak akan memilih Trump walaupun mereka menganggap Biden sudah terlalu tua dan terlalu rentan untuk kembali menjadi Presiden Amerika Serikat.

Bahkan jika akhirnya Pemilu 2024 mempertemukan kembali Biden dengan Trump, sembilan dari 15 pemilih suara mengambang menyatakan akan memilih Biden.

Berdasarkan riset Washington Post itu, sekalipun pemilih yang dulu memilih Demokrat atau cenderung memilih Demokrat, mengkhawatirkan kondisi kesehatan Biden sehingga mereka tak mau Biden mencalonkan diri lagi, mereka ternyata lebih khawatir pada kondisi jika Trump berkuasa kembali.

Kebanyakan mereka memang mengaku memilih Trump pada 2016 karena menginginkan perubahan di puncak kekuasaan politik Amerika Serikat, termasuk karena tidak menyukai Hillary Clinton yang saat itu calon presiden dari Partai Demokrat. Namun, karena karakter Trump dan kini kasus-kasus hukum yang menjeratnya, mereka tak lagi sudi mendukung Trump pada Pemilu 2024.

Trump sendiri kemungkinan mulai menjalani peradilan pada 28 Agustus 2023, dalam kasus upaya membatalkan hasil pemilu. Sedangkan kasus menyimpan dokumen rahasia negara di rumah pribadi diperkirakan mulai disidangkan pada Maret 2024. Akan halnya persidangan kasus uang tutup mulut untuk bintang film dewasa Stormy Daniels, kemungkinan digelar pada Mei 2024.

Dengan demikian, vonis baru keluar dalam bulan-bulan awal tahun depan, padahal rangkaian pemilu Amerika Serikat bakal dimulai 15 Januari 2024 ketika Partai Republik mengawali rangkaian primary atau pemilihan pendahuluannya di Iowa, sedangkan Partai Demokrat baru memulainya di Alaska pada 6 April tahun yang sama.

Dengan padatnya rangkaian Pemilu AS 2024, maka perhatian besar pertama bisa tercurah kepada persidangan 28 Agustus dan 2 Oktober ketika Trump diperkirakan menghadapi dua persidangan pertama dalam kasus hasil Pemilu 2020.

Persidangan ini bisa menjadi petunjuk untuk bagaimana arah nasib Trump kemudian, yang bisa menentukan apakah citra, tingkat akseptabilitas dan popularitas sang mantan presiden cenderung tergerus, atau justru semakin kuat.

 

COPYRIGHT © ANTARA 2023

Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.

error: Content is protected !!