Jitunews.com – KEMBALINYA POLITIK NILAI

Jitunews.com – KEMBALINYA POLITIK NILAI

pertemuan Budiman Sudjatmiko dengan Prabowo Subianto bukan pertemuan di ruang hampa. Pertemuan tersebut justru menandai Kembalinya Politik Nilai

 

Oleh: Khairi Fuady, Co Founder Forum Intelektual Muda

 

 

Jakarta, Jitunews.com – Pekan lalu, jagad politik cukup dinamis. Menyusul sebuah lawatan kebangsaan yang dilakulan oleh seorang pentolan aktivis, Budiman Sudjatmiko, ke kediaman Jenderal 08, Prabowo Subianto.

 

Tentu saja, karena ruang dan waktunya adalah ruang dan waktu yang politis, ragam analisa dan tafsir politik riuh mengisi ruang publik kita. Mulai dari arah dukungan seorang Budiman yang notabene adalah kader PDIP, membawa misi apa, atas perintah dan order dari siapa, pun sejumlah analisis lainnya.

 

Namun, yang juga tak kalah menarik dari apa yang menjadi spotlight pada pertemuan tersebut, selain soal politik dukung mendukung, adalah sebuah seruan dari Budiman tentang Persatuan Kaum Nasionalis.

 

Seruan ini sontak dijadikan angle berita oleh banyak media dan dikupas oleh para pengamat. Sebuah tema yang barangkali dalam beberapa tahun terakhir terasa langka dalam perdebatan politik kita.

 

Perbincangan politik kita lebih didominasi oleh diskusi soal elektabilitas, popularitas, persentase survey, jumlah pemilih muda, dan aneka variabel kuantitatif lainnya.

 

Hemat saya, pertemuan Budiman Sudjatmiko dengan Prabowo Subianto bukan pertemuan di ruang hampa. Pertemuan tersebut justru menandai Kembalinya Politik Nilai.

 

Panggung depan politik kita yang dalam satu dekade terakhir lebih banyak diisi oleh figur semacam Faldo Maldini, Tsamara Amany, dan politisi bercorak selebriti lainnya, hari ini seperti menemukan kegairahannya kembali pasca manuver Budiman.

 

Bayangkan, seandainya seruan Persatuan Kaum Nasionalis itu disuarakan oleh Alia Laksono, Dito Ariotedjo, atau Eko Patrio yang nyanyi Pan Pan Pan misalnya, rasa-rasanya bobotnya pun akan jauh berbeda.

 

Budiman juga mempertegas, “Indonesia adalah kapal besar, bukan panggung entertain”. Ini kalau kita selami, maknanya sangat dalam. Di dunia entertain, orang tentu butuh alat make up seperti bedak, pensil alis, sampai gincu.

 

Sedangkankapalbesarmembutuhkannahkoda yang handalbesertasederetawakkapallainnya. Variabelkeahlian dan penguasaanterhadapmasing-masingbidangmenjadi amat sangatpenting, karenataruhannyaadalahkeselamatanbahtera. Bahtera yang tak kokoh bisaterombangambingbahkantenggelam di tengahsamuderaketidakpastian.

 

Syahdan. Sudah saatnya politik kita menemukan kembali titik balik pada nilai, prinsip, ideologi, dan jatidiri bangsa. Kita tentu mafhum betapa dulu sidang BPUPKI adalah sidang yang memfasilitasi para tokoh dan pentolan dari varian ideologi.

 

Mulai dari yang moderat, kiri, kanan, kiri jauh, dan bahkan kanan ekstrim. Kesemuanya memberikan warna, sehingga setiap produk politik yang dihasilkan, mengandung ruh dan nilai yang demikian dalam.

 

Dan hari ini, nampaknya tren ke arah ini kembali menguat. Sinyal tersebut juga datang dari para elit kita yang muncul di panggung depan, mulai diisi oleh para aktivis pejuang.

 

Di kabinet misalnya, baru saja dilantik salah satunya adalah Nezar Patria, mantan aktivis Prodemokrasi, dan pernah menjabat sebagai Sekjen SMID, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi.

 

Ada pula Saiful Rahmat Dasuki mantan pengurus Gerakan Pemuda Ansor. Demikian pula Budi Arie Setiadi, aktivis di FISIP UI, mantan wartawan, dan pentolan relawan, dilantik menjadi Menteri Komunikasi dan Informatika.

 

Tentu ada pro dan kontra, namun getaran agar politik nilai kembali mewarnai politik kita, hawanya semakin terasa.

 

Demikian pula dalam riuh kontestasi. Kita mulai menyaksikan kembali, aktivis mengambil peran sentral. Haris Rusli Moti, aktivis 98, tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD), ditunjuk menjadi Wakil Koordinator Relawan Prabowo Subianto.

 

Di dunia digital, kita juga menyaksikan bahwa diskusi kembali hidup. Layar handphone kita mulai diisi oleh cuap ceplas ceplosnya politisi dan wartawan senior, Panda Nababan.

 

Begitu pula youtube-nya Akbar Faizal yang semakin hari semakin ditunggu oleh para manusia politik. Yang termutakhir, ia mengundang seorang pentolan aktivis Forkot, Iskandar Sitorus, untuk bicara tentang “kemarahan sesama markus (dalam bahasa Iskandar)”, dalam kasus BTS 8 Trilliun.

 

Podcast yang berdurasi kurang lebih satu jam tersebut, sampai diulas kembali oleh Dahlan Iskan dalam sebuah tulisan utuh bertajuk “Akbar Sitorus”, artinya perbincangan oleh Akbar Faizal dan Iskandar Sitorus.

 

Alhasil, riuh perbincangan politik kita, mulai menemukan bobotnya kembali. Menyediakan ruang-ruang dialektika bagi pikiran. Meskipun para buzzer tetap kekeuh mencoba peruntungan dengan terus memperkeruh kolam permainan, namun kita sudah cukup lega karena ketegangan hari ini bukan lagi bertema soal cebong, kampret, kadrun, dan istilah istilah nihil makna lainnya. Sampai disini, sejarah telah memilih jalannya sendiri. (*)

Mengukur Jurkam Seleb Cagub DKI, Koalisi Mana Lebih Kuat?


Artikel ini bersumber dari www.jitunews.com.

error: Content is protected !!