Transformasi Seni Rupa Tionghoa

Transformasi Seni Rupa Tionghoa

Seni rupa Tionghoa telah melesat menjadi Indonesia. Bahkan, menjelma menjadi seni peradaban dunia. Tidak tersekat-sekat aliran ataupun etnis. Yang ada hanya riuhnya tepuk tangan apresiasi.

DI masa Orde Baru, seni rupa Tionghoa muncul sebagai bentuk perlawanan. Budaya Tionghoa seakan disuntik mati oleh pemerintahan Soeharto, tak terkecuali seni rupanya. Maka, untuk menunjukkan eksistensinya, apa pun dilakukan dan dihidupkan dengan mempertahankan gaya, aliran, dan karakter.

Salah satu kekhasan seni rupa Tionghoa mengacu pada Chinese painting dengan menggunakan cat air sebagai media utamanya. Kurator dan pelukisAgus Dermawan T. menuturkan, saat Orde Baru memang diperlukan untuk mempertahankan karakternya. ”Karena kalau tidak, akan dihilangkan,” kata Agus.

Karakter itulah yang kemudian secara perlahan membentuk pandangan stereotipe soal pelukis Tionghoa. Hal itu lantas membuat seakan-akan ada sekat antara seniman seni rupa Tionghoa dan non-Tionghoa. ”Itu terjadi akibat kebijakan Soeharto yang menyingkirkan Tionghoa,” ujar pria asal Banyuwangi, Jatim, itu. Dan ’’masa gelap’’ bernama Orde Baru itu berlangsung 32 tahun.

Menurut Agus, barangkali keberhasilan bertahan dari masa gelap tersebut karena masih adanya sisa-sisa percikan cahaya terang di era Soekarno. Saat itu, seniman Tionghoa mendapatkan apresiasi yang tinggi di era presiden pertama Indonesia tersebut.

Di era Soekarno terbentuklah sebuah kelompok seni rupa bernama Yin Hua. Yin diartikan Indonesia dan Hua berarti China atau Tionghoa. Kelompok itu didirikan pelukis tersohor keturunan Tionghoa, Lee Man Fong. Serta beberapa pelukis lainnya seperti Ye Thay Hua, C.M. Hsu, dan Ling Nang Lung. ”Para anggota Yin Hua ini sering berkumpul di studio foto di kawasan Mangga Besar,” tutur Agus.

Lee Man Fong diangkat secara resmi oleh Presiden Soekarno untuk menjadi pelukis istana. Lee Man Fong sendiri merupakan pelukis kenamaan, yang saking hebatnya namanya diperebutkan tiga negara. Yakni, Tiongkok, Singapura, dan Indonesia. ”Padahal, dulunya beliau merupakan pelukis Istana Presiden Indonesia,” kata Agus.

Bukan hanya Lee Man Fong, menurut Claire Holt dalam buku Art in Indonesia-Continuities and Change, pesona karya-karya pelukis Yin Hua sangat diperhatikan pemerintah Tiongkok. Bahkan, mereka ditawari menggelar pameran lukisan di Beijing.

BHINNEKA TUNGGAL IKA: Jokowi-Indonesia Bangkit karya Robby Lulianto (Tan Goan Siu). (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)

Tapi, tercatat sejarah, salah seorang pengurus Yin Hua, Ling Nang, pernah berkata, ”Kami sekuat tenaga menyumbangkan kami punya karya kepada kesenian Indonesia”. Penegasan itulah yang menurut Agus membuat Yin Hua sangat Indonesia.

Dengan nama Yin Hua yang masyhur, wajar jika saat itu Soekarno menganggap karya-karya Yin Hua adalah Duta Budaya Indonesia. Sedangkan Tiongkok menganggap karya-karya Yin Hua sebagai tanda awal ikatan kuat tali persahabatan politik kedua negara. Yang di kemudian hari menjadi pijakan perumusan gerakan politik Poros Jakarta-Peking. ”Jadi, itu sejarahnya,” terang Agus.

Namun, semua itu kini telah berbeda. Perbedaan ke arah yang positif. Pasca 1998, setelah lengser keprabonnya Soeharto, menjadi titik permulaan bangkitnya seni rupa Tionghoa.

MAESTRO: Kelinci karya Lee Man Fong. Lee Man Fong adalah tokoh besar seni lukis Tionghoa. (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)

Melainkan, melesat lebih dari itu. Seni rupa Tionghoa telah menjadi Indonesia. Bahkan, telah menjadi seni rupa peradaban dunia. ”Dan tidak lagi tersekat-sekat dengan gaya Chinese painting dengan cat airnya,” urai Agus.

Agus menjelaskan, kini seniman Tionghoa telah berkarya dengan berbagai aliran, gaya, dan karakter. Yang bahkan bisa sampai pada satu titik, yaitu penikmat lukisannya tidak mengetahui bahwa sang pelukis itu berdarah Tionghoa.

Seniman lainnya, F.X. Harsono, pun memperkuat keyakinan Agus Dermawan. Kini tidak ada lagi pelukis Tionghoa yang berupaya memperahankan karakter Chinese painting. ”Tidak ada keseragaman menggunakan teknik tertentu,” ujar Harsono.

Namun, soal posisi seniman Tionghoa sekaligus posisi kaum Tionghoa masih menjadi tanda tanya dalam benak Harsono.

SPESIAL: Presiden Soekarno (kiri) menghadiri pameran seni rupa grup Yin Hua di Hotel Des Indes, Jakarta, pada 1956. (DOKUMEN AGUS DERMAWAN T.)


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!
Exit mobile version