Mandatory Spending Bukan Pemberian Tetapi Hak Konstitusional Masyarakat

Mandatory Spending Bukan Pemberian Tetapi Hak Konstitusional Masyarakat

Permohonan Mandatory Spending Kesehatan dipertahankan demi kepastian Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, bukan sekedar mengobati sakit, tetapi mampu mewujudkan Tujuan Nasional.

BAPAK PRESIDEN JOKOWI YTH,
MOHON MANDATORY SPENDING KESEHATAN DIPERTAHANKAN

MANDATORY SPENDING BUKAN PEMBERIAN TETAPI HAK KONSTITUSIONAL MASYARAKAT

Naskah Undang-Undang (Omni bus law) Kesehatan setelah Persetujuan Paripurna DPR RI pada 11 Juli 2023, kini ada ditangan Bapak Presiden untuk ditandatangani dalam 30 hari. Didalamnya dihapus Mandatory Spending Kesehatan. Nasib dan Peta kesehatan rakyat Indonesia setelah kepemimpinan Bapak Presiden Jokowiyang berakhir tahun 2024, masih ditangan Bapak, dan  menjadi Legacy Bapak.

Sumpah Pemuda dan Politik Identitas

Lebih seminggu kami mencoba memahami, tapi semakin tak memahami, banyak kekhawatiran akan terjadi dan tak mudah diatasi, untuk tidak mengatakan tidak bisa diatasi. Kami ingin selepas bapak jadi Presiden, Indonesia mulus menuju era Indonesia Emas 2045.

Bapak Presiden Jokowi yth, permohonan kami, Mandatory Spending Kesehatan dipertahankan. Permohonan ini demi kepastian Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya, bukan sekedar mengobati sakit, tetapi mampu mewujudkan Tujuan Nasional.

MANUSIA INDONESIA yang diamanatkan konstitusi kita adalah yang mampu membangun Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsdan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi  dan keadilan sosial. Semua berawal dari Kualitas Kesehatan.

Kita bersyukur seluruh Komitmen Dunia, sejalan dengan Undang-Undang Dasar 1945, termasuk hak sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan (Pasal 28 huruf h UUD45), yang diselenggarakan secara Terpadu, Menyeluruh dan Berkesinambungan meliputi Promotif, Preventif, Kuratif dan Rehabilitatif (Pasal 47 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan), dan untuk memastikan tanggungjawab Negara ada TAP MPR RI No.1 Tahun 2004 kemudian diturunkan kedalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 171 ayat (1) dan (2) disediakan Pagu Anggaran Kesehatan minimal 5% dari APBN dan 10% dari APBD diluar gaji.

Pasal 171 ayat (3) mengarahkan besaran anggaran diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang meliputi utamanya Preventif dan Promotif, yang besarannya sekurangkurangnya dua pertiga dari anggaran tersebut dan diselenggarakan secara efisien dan efektif.

MASALAH KESEHATAN TIDAK SEMAKIN RINGAN

Melihat semakin berat dan luasnya masalah Kesehatan, apalagi banyak indikator kesehatan menunjukkan keadaan yang memburuk, maka pada tempatnya Mandatory Spending Bidang Kesehatan tidak hanya dipertahankan, tetapi ditingkatkan diatas 5%.

Kemampuan Sektoral dan Daerah berbeda-beda, tetapi Pembangunan Kesehatan harusmenyeluruh, adil dan menghasilkan Outcome dan Benefit yang sama sebagai konsekuensi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan adanya Mandatory Spending akan mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi daerah.

Alasan merubah haluan anggaran kesehatan dari yang sebelumnya merupakan anggaran wajib (mandatory spending) menjadi anggaran berbasis kinerja, dimana katanya besarnya mandatory spending tidak menentukan kualitas dari keluaran (outcome?) atau hasil yang dicapai. Tanpa Mandatory Spending semua jadi tepat sasaran, tidak buang buang uang. Sebagaimana dikutip dari Rilis Kemenkes, sungguh rawan dan masuk area ketidakpastian.

Jika dengan Mandatory Spending tidak mencapai Output (keluaran) dan Outcome (hasil), bahkan Benefit (manfaat), salahnya bukan pada anggaran tetapi pada Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan.

Perlu diketahui sejak 2011, Kemenkes dengan melakukan reorganisasi Inspektorat Jenderal, revitalisasi Auditor dan menerapkan manajemen terbuka maka bertahun-tahun sebelumny berkutat pada opini Disclaimer menjadi Wajar Dalam Pengecualian (WDP), dan kini terus berada pada posisi opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bahkan menerima banyak Penghargaan. Artinya dalam mengurus Anggaran, tidak ada kompromi buang-buang uang.

MASALAH KESEHATAN TERKINI

Bapak Presiden Jokowi yth,

Selain Bapak Presiden sendiri sering mengemukakan keprihatinan akan kondisi dan kualitas Kesehatan, termasuk tekad menurunkan angka Stunting menjadi 14% pada tahun 2024. Dalam setahun masih ada lebih 25% atau lebih 1 juta anak lahir dengan risiko Stunting, yang jika tidak ditangani akan jatuh pada kondisi Lost Generation (generasi yang hilang. Hilang dirumahnya sendiri, di Negeri yang sesungguhnya sumberdaya alamnya kaya). Sementara saat ini sudah ada belasan juta yang Stunted.

Ibu Negara, Iriana Joko Widodo, juga mengingatkan dan prihatin dengan Angka kematian Ibu dan kematian Bayi yang masih tinggi.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kemenkes tahun 2018, (tahun 2023 masih dalam rencana), menunjukkan kenaikan Prevalensi Penyakit Tidak Menular seperti Hipertensi, Gangguan Jantung, Stroke, Gangguan Ginjal, Paru, Kanker, disamping peningkatan luarbiasa Obesitas dan Penyakit Diabetes. Bukan hanya jumlahnya, tetapi penderitanya semakin muda usia, sejak usia 15 tahun. Usia yang penuh harapan dan impian, juga masa depan bagi Indonesia.

Disamping Penyakit menular seperti Malaria dan TBC yang tidak menurun tetapi Kembali mewabah dan meningkat. Sementara penyakit baru seperti HIV-Aids, SARS, Demam Dengue juga meningkat. Akhir 2018, Menkes ketika itu Ibu Prof.Dr.Nila D.Moeloek sudah mengingatkan terjadinya Triple Burden Diseases (beban kesehatan yang berlipat-lipat).

Pandemi Covid-19 yang terjadi sejak awal 2020 hingga Mei 2023, dan kini memasuki era Endemik, yang sewaktu-waktu muncul diberbagai tempat, memberi pesan penting, betapa kesiapsiagaan dan kualitas Kesehatan masyarakat masih rendah. Lebih 70% kematian terjadi pada usia Produktif, karena Komorbid.

Secara spesifik, Dunia mencatat sejumlah prestasi buruk lainnya dalam Kesehatan kita, seperti penyakit Skabies, sejenis penyakit kulit (tertinggi didunia), TBC (kedua tertinggi didunia, diatas Cina yang berpenduduk 1,6 milyar dan dibawah India yang berpenduduk 1,3 milyar sementara
Indonesia penduduknya 270 juta), dan Kusta (ketiga tertinggi di dunia).

Masalah lainnya adalah semakin meningkatnya jumlah penduduk lanjut usia, sudah mencapai 40 juta orang, yang rata-rata memiliki 2-3 penyakit yang butuh pelayanan Kesehatan seumur hidup. Indonesia sudah masuk Ageing Population Country, namun perhatian yang diberikan belum optimal.

Demikian pula Pelayanan Kesehatan Haji, sekalipun Komisi Kesehatan Haji Indonesia (KPHI) sebagaimana pernah dilaporkan kepada Bapak Presiden di Intana Negara (2016), bahwa Menteri Kesehatan dan Menteri Agama sepakat dengan gagasan KPHI dan membuat serta menandatangani Perjanjian Kerjasama pelaksanaan Istithoah Kesehatan bagi calon Jamaah haji Indonesia, apalagi denagn masa tunggu yang begitu lama dan otomatis kondisi dan kualitas kesehatannya bisa menurun, namun upaya pelayanan kesehatan bagi Calon Jemaah Haji hanya dilakukan menjelang keberangkatan, bukan sejak mendaftarkan diri, akibatnya Angka Kesakitan dan Kematian tetap tinggi.

Sesuai kajian Status Kesehatan Masusia yang dikemukakan pakar dunia Kesehatan Masyarakat, Michael Blum (1974), STATUS KESEHATAN ditentukan Lingkungan (60%) yang antara lain ketersediaan air bersih, sanitasi buruk, udara polutif karena kebakaran hutan dan produk limbah, penegakan hukum yang masih lemah atas pelanggaran hak public untuk mendapat udara bersih dan sehat. Hal kedua Perilaku (Behaviour), yang berpengaruh sekitar 30%. Setiap keluarga harus kompak berprilaku Hidup Bersih dan Sehat. Hal keempat sekitar 5% adalah factor Genetik (Keturunan) seperti Diabetes, yang sesungguhnya bisa diputus rantai penurunannya.

Hal ketiga adalah UPAYA KESEHATAN, yang selama ini dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan seperti Rumah Sakit dan Puskesmas serta sejenisnya, itu berkontribusi 5%. Artinya Pembangunan Kesehatan, sangat ditentukan Peran Aktif Masyarakat dan Komponen Sosial lainnya, yang hanya punya Tenaga tetapi Tidak Punya Anggaran.

MANDATORY SPENDING KESEHATAN HARUS DIPERTAHANKAN

Sebagai satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjabat Walikota (Solo), Gubernur (Provinsi DKI Jakarta) dan menjadi Presiden Republik Indonesia, maka bagi Bapak, “kualita masyarakat” adalah alasan dalam pengabdian Bapak.

Pembangunan Kesehatan, adalah pembangunan tanpa henti. Perbaikan hanya bisa dicapai dalam suatu perencanaan jangka (sangat) panjang. Semua unsur ekonomi bisa dinamis, bahkan tambal sulam, tetapi unsur Uang (money) harus tetap tersedia dan tanpa negosiasi, apalagi negosiasi politik yang melelahkan.

Cukuplah pengalaman buruk dimasa lalu, ketika belum adanya Mandatory Spending Kesehatan, total alokasi APBN Bidang Kesehatan hanya disekitar 2 (dua) % plus/minus. Mandatory Spending Kesehatan semakin pasti dibutuhkan untuk menangani masalah kesehatan yang semakin menuntut perhatian besar, kerja besar, jangkauan luas, aspek yang komprehensif, dari belakang hingga kedepan, menjangkau seluruh rakyat Indonesia di Daerah terpencil dan terluar, termiskin dan yang tak terlayani.

Disamping itu, ada perintah dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang didalamnya terdapat 6 (enam) urusan wajib Pelayanan Dasar termasuk Kesehatan yang harus dicapai sesuai Standar Pelayanan Minimal (SPM) oleh Pemerintah Daerah sebagai Prioritas, yang tentu membutuhkan Anggaran untuk mencapai kondisi yang sama baik antar Daerah.

Program Kesehatan bukan pekerjaan fisik yang bisa dibagi-bagi, dipilih, dipilah, tetapi pekerjaan jangka Panjang yang harus berkesinambungan dan komprehensif.

Semakin tidak pasti ketersediaan anggaran, dengan cepat merontokkan capaian yang sudah dicapai, seterusnya akan menguras pengeluaran Anggaran Nasional yang semakin besar.

Transformasi Kesehatan akan naik turun tanpa kepastian jika tidak didukung Anggaran yang harus disediakan dan ditetapkan dalam Undang-Undang yang disebut Mandatory Spending.

Man, Material and Methode boleh berubah atau berganti, tetapi Money, Anggaran kesehatan harus dalam kepastian. Jika Anggaran sudah tersedia, tinggal butuh kecerdasan, profesionalitas, komitmen dan integritas dalam pelaksanaannya.

Manusianya boleh berganti, perencanaan boleh berubah, target kinerja dan prioritas bisa disesuaikan, tetapi Anggaran yang menjadi unsur utama dan mutlak harus aman dan tersedia secara pasti, dan tidak bisa diganggu kepentingan apapun, oleh siapapun. Karenanya sudah tepat dunia menyebutnya Mandatory Spending.

Kita percaya bahwa pencapaian (OUTPUT & OUTCOME) sangat ditentukan oleh SDM Tangguh, Profesional, berdedikasi dan Integritas tinggi, yang didukung ketersediaan Anggaran yang PASTI.

Semoga dengan kearifan Bapak Presiden Jokowi yth, Mandatory Spending Kesehatan dapat dipertahankan, bahkan jika mungkin ditingkatkan.

Demikianlah PERMOHONAN RAKYATMU.., kiranya Bapak Presiden berkenan memastikan adanya Mandatory Spending Kesehatan. Mandatory Spending Bidang Kesehatan adalah Hak Rakyat Bukan Pemberian.

Mohon maaf atas cara yang tak santun dan tutur kata yang tak runtun.
Wassalamu’alaikum Wr Wb
Jakarta-Sunterjaya, 21 Juli 2023.

Ditulis Oleh:

*Dr.Abidinsyah Siregar,DHSM,MBA,MKes
(Pensiunan Ahli Utama Kemenkes/BKKBN, Ketua Umum BPP OBKESINDO; Sekjen PP IPHI; Ketua Departemen Kesehatan PP DMI, Wakorbid I DPP IKAL-Lemhannas; Ketua IKAL FK USU).

 

 

Hari Ibu Memastikan Masa Depan Indonesia


Artikel ini bersumber dari www.jitunews.com.

error: Content is protected !!
Exit mobile version