News  

Seperti Kelinci yang Dililit Ular Sanca

Seperti Kelinci yang Dililit Ular Sanca

Lingshan yakin kematian itu indah. Karena dikutuk tak mati-mati, berulang-ulang Lingshan mencoba bunuh diri, tetapi selalu gagal. Hingga Januari yang masih dihajar hujan dan badai yang menerbangkan bangkai-bangkai tikus, lelaki yang tinggal di sebelah Kelenteng Hok Tek Bio itu belum mati. Dia masih menjadi laki-laki garang. Dia masih menjadi pembunuh bayaran.

MESKIPUN demikian, sudah lama Lingshan tidak ingin menjadi manusia lagi. Hanya, dia tidak ingin menjadi kecoak raksasa. Tidak ingin menjadi gajah atau singa. Tidak ingin menjadi cacing atau kucing. Tidak pula menjadi kadal atau hiu yang bermimpi menjadi manusia. Aku tak berhasrat menjadi kera yang mahir berbicara di sebuah akademi. Aku tak mau jadi serigala yang suka berdebat dengan orang Arab. Aku tak mau menjadi buaya yang mampu menjelaskan perbedaan ganggang dan lumut kepada lelaki yang suka becermin di telaga.

Lingshan juga tak mau menjadi binatang yang tampil di hadapan siapa pun sebagai makhluk seukuran landak berbungkus akar-akar dan lendir-lendir menjijikkan. Sudah kupastikan jika pada suatu hari diberi kesempatan berubah menjadi binatang, aku memilih menjadi naga. Tak mungkin kupilih menjadi tikus yang muncul bersama-sama sampar.

Ya, ya, menjelang Tahun Kelinci Air, Lingshan belum berubah menjadi naga. Dia tetaplah Lingshan yang pagi itu atas suruhan ketua Partai Bulan Merah seharusnya sudah bergegas membunuh Wali Kota Zheng yang sedang melakukan olahraga di Lapangan Jindo. Dia tetaplah Lingshan yang sebelum melakukan pembunuhan terhadap Wali Kota Zheng, berencana mampir ke rumah pemotongan hewan dan melihat para penjagal memenggal leher sapi.

Biasanya, setelah puas menatap darah sapi muncrat ke mana-mana, Lingshan bergegas menuju ke tempat korban berada. Setelah itu, tanpa banyak cincong, Lingshan melukai korban sesuai tarif. Jika tarifnya banyak, dia penggal leher dengan katana. Jika tarifnya sedikit, dia hanya memotong kuping atau memukul kepala dengan pentung. Jika tarifnya sedang-sedang saja, dia sekadar menusuk lambung. Akan tetapi kadang-kadang jika hasrat membunuh sedang meluap-luap, dibayar berapa pun, Lingshan bisa menusuk jantung korban, menginjak-injak selangkangan, atau menghancurkan kepala korban dengan palu.

Pekerjaan menjadi pembunuh bayaran sebenarnya bukan satu-satunya pilihan. Oleh Wan Meng, tetangga yang pada masa remaja sering mengajak Lingshan ke rumah bordil murahan di perbatasan kota, menawarinya menjadi penyobek tiket di Gedung Bioskop Nam. Hanya lima tahun dia bekerja di gedung bioskop yang khusus memutar film-film percumbuan itu. Hanya lima tahun pula dia mempelajari gaya bercumbu semua bintang film laki-laki dan menjelang tidur akan mengulang adegan percintaan dengan guling. Kadang-kadang jika punya uang berlebih, dia bergegas ke bordil. Biasanya dia memilih perempuan paling tua agar uangnya masih bisa digunakan minum arak dan sekadar jajan.

Wan Meng pula yang menawari Lingshan menjadi pembunuh bayaran. Mula-mula Lingshan membunuh seorang pedagang candu atas perintah pedagang candu lain kepada Wan Meng. Setelah itu, diminta atau tak diminta Wan Meng, dia membunuh istri muda seorang anggota parlemen, seorang polisi, dan tiga orang hakim. Dia juga memotong telinga pensiunan tentara, mematahkan kaki calon wali kota, menusuk germo, dan menghancurkan kepala jawatan kereta api. Sejak jadi pembunuh bayaran, Lingshan berhenti menjadi petugas penyobek tiket, tetapi masih sering menonton film di Gedung Bioskop Nam dan meniru gaya bercumbu para aktor. Bahkan semalam sebelum tidur, setelah mabuk berat di Kedai Arak Zhu De, dia ingin bercinta dengan Xuan’er, sang istri, dengan gaya anjing. Akan tetapi karena terlalu mabuk, dia langsung tertidur di samping Xuan’er dan tak mampu melakukan apa pun. Mencium kening saja tidak, apalagi menggigit leher dan memeluk Xuan’er dari belakang.

Celakanya, setelah terbangun dari mimpi menjadi buaya yang bermimpi menjadi tapir busuk, Lingshan merasa Xuan’er berubah menjadi ular yang dengan ganas melilit dan meremukkan tulang-tulang rapuh. ”Tak mungkin Xuan’er berubah menjadi ular. Xuan’er hanyalah perempuan rapuh dengan kaki kecil,” bisik Lingshan kepada diri sendiri.

Karena merasa tidak sedang bermimpi, Lingshan mencoba mengamati dengan saksama ular yang melilit tubuh dan hendak mencaploknya itu. Ya, ini jelas-jelas bukan Xuan’er, melainkan ular sanca yang menyusup ke rumah, pikir Lingshan. Bisa saja sebelum melilitku ia telah mencaplok Xuan’er terlebih dulu.

Akan tetapi Lingshan meragukan pendapatnya itu. Tak ada jejak tubuh di perut ular sanca. Jadi, tak mungkin ular sanca itu melilit dan melemaskan tubuh Xuan’er sebelum dimakan. Tak mungkin ular sanca akan meremas Xuan’er dengan kuat. Tak mungkin pula ketika Xuan’er mengembuskan napas, ular itu meremas lebih kencang hingga Xuan’er tidak bisa lagi bergerak.

Jadi, Lingshan menyimpulkan, Xuan’er telah berubah menjadi ular sanca. Mungkin mula-mula yang berubah tubuh bagian atas terlebih dulu, termasuk kepala Xuan’er yang tiba-tiba memiliki moncong dan lidah panjang berlendir. Setelah itu, kaki Xuan’er menghilang berganti dengan ekor panjang yang sabetannya bisa memorak-porandakan seisi kamar. Hanya, meskipun selama ini Xuan’er galak, Lingshan tak menduga istrinya akan berubah jadi ular yang menakutkan.

Aku tak perlu terbangun dari mimpi buruk kalau harus berhadapan dengan ular sanca. Aku akan tidur lagi saja. Siapa tahu saat tidur aku bisa berubah menjadi naga dan bisa segera berkelahi dan mengalahkan ular sanca sialan ini.

Lingshan tidak bisa tidur lagi. Masih merasakan dililit dan hendak dicaplok oleh ular sanca, dia memandang ke arah pintu kamar. Lingshan memang tidak bisa melihat apa pun yang berada di luar kamar. Akan tetapi dia merasa Wan Meng datang bersama utusan ketua Partai Bulan Merah dan telah berada di ruang tamu setelah mendobrak pintu rumah. Dia mendengar apa pun yang dipercakapkan oleh Wan Meng dan utusan ketua Partai Bulan Merah.

”Lingshan agaknya menipu kita,” kata utusan ketua Partai Bulan Merah. ”Dia tak akan membunuh Wali Kota Zheng. Mungkin dia justru telah menjadi suruhan Wali Kota Zheng dan bakal berbalik membunuh kita.”

”Jangan berburuk sangka dulu,” ujar Wan Meng. ”Lingshan tak pernah tak melakukan apa pun yang sudah dijanjikan.”

”Buktinya hingga pagi ini dia tidak melakukan apa pun yang telah kita sepakati. Dia malah enak-enak tidur. Kalau hari ini Wali Kota Zheng tak bisa dibunuh, akan sangat sulit kita memiliki wali kota baru. Kalau Wali Kota Zheng tak segera dibunuh, kita juga tak akan menerima upah secepatnya dari ketua Partai Bulan Merah. Gedorlah kamar tidurnya. Bikin bangun dia!”

Lingshan tidur? Tentu saja tidak. Karena tak bisa tidur lagi, dia masih berusaha melepaskan diri dari lilitan ular sanca. Ini membuat ular sanca melilit lebih kuat. Tak hanya itu, ular itu juga tak sabar lagi untuk segera mencaplok kepala Lingshan.

Mengapa moncong ular ini kian membesar? Atau jangan-jangan justru akulah yang tiba-tiba menyusut. Jangan-jangan tubuhkulah yang mengecil menjadi seukuran kelinci.

Ingin membuktikan penyusutan tubuh, Lingshan melihat sekujur badan. Tampaknya kaki dan tanganku memang mengecil. Jika dilihat dengan cermat, kaki dan tanganku telah berubah menjadi seukuran kaki-tangan seekor kelinci. Aku telah berubah menjadi kelinci? Rasanya tidak. Kepalaku masih kepala manusia.

Lingshan pun tertawa sendiri. Sungguh tak lucu menjelang Tahun Kelinci Air, aku berubah menjadi kelinci yang dililit dan hendak dicaplok ular sanca.

Akan tetapi Lingshan tak bisa meneruskan tawanya. Ular sanca kian melilit tubuhnya. Kepalanya yang terus membesar sudah siap-siap mencaplok tubuh Lingshan. Meskipun demikian, Lingshan masih mampu mendengarkan apa pun yang dipercakapkan oleh Wan Meng dan utusan ketua Partai Bulan Merah.

”Kalau tak segera keluar dari kamar, Lingshan akan kubunuh,” kata utusan ketua Partai Bulan Merah. ”Akan kutusuk lambungnya dengan linggis. Akan kuremukkan kepalanya dengan palu. Aku sudah tak sabar lagi.”

”Tak perlu kau yang membunuh Lingshan. Kalau sebentar lagi tak membuka pintu kamar, akulah yang akan membunuh dia. Tapi aku yakin dia akan segera membuka pintu kamar, menemui kita, dan segera mencari dan membunuh Wali Kota Zheng.”

Membuka pintu kamar? Jelas tak mungkin. Ular sanca ini, yang aku yakin bukan penjelmaan Xuan’er, tak akan melepaskan aku begitu saja. Lalu, karena mengira mati dicaplok ular sanca bukanlah kematian indah, aku harus berusaha membebaskan diri dari mulut ular sialan.

Benar juga pikiran Lingshan. Ular sanca pun mencaploknya. Sekali telan tubuh Lingshan telah berada di dalam perut ular ganas itu. Lingshan mati? Belum. Ditelan ular sanca bukanlah akhir segalanya. Karena dikutuk untuk tak mati-mati, ketika berada di perut ular sanca, dia merasa berhadapan dengan ular lain yang siap mencaploknya. Begitu dicaplok oleh ular lain itu, ada ular lebih ganas yang siap mencaploknya. Begitu seterusnya, sehingga ada 13 ular yang mencaplok Lingshan.

Matikah Lingshan di perut ular ketiga belas? Lingshan tidak mati, tetapi ada lendir penghancur yang merontokkan daging Lingshan dan membuat darah pembunuh bayaran itu muncrat ke seluruh dinding bagian dalam perut ular sanca. Ini berarti tubuh dan darah Lingshan telah menyatu dengan dengan tubuh dan darah ular sanca.

Hanya, dalam situasi semacam itu, Lingshan masih bisa mendengar Wan Meng dan utusan ketua Partai Bulan Merah bergegas berjalan ke arah pintu kamar.

”Kita dobrak saja pintu kamarnya!” teriak utusan ketua Partai Bulan Merah.

”Ya, kita dobrak saja!” ujar Wan Meng.

Tentu saja Lingshan tak ingin Wan Meng dan utusan ketua Partai Bulan Merah mendobrak pintu kamar. Tak ada cara lain, Lingshan harus berteriak sekeras mungkin agar mereka sebaiknya menunggu di ruang tamu. Akan tetapi Lingshan merasa suaranya harus melewati tiga belas rumah bertembok tebal.

Aku akan membunuh Wali Kota Zheng. Aku akan membunuh wali kota sialan itu.

Tetap saja Wan Meng tak mendengar suara Lingshan. Karena itulah, tanpa menunggu lebih lama lagi, mereka mendobrak pintu kamar. Tentu saja mereka tak melihat Lingshan di kamar itu.

”Sial!” kata utusan ketua Partai Bulan Merah. ”Lingshan telah melarikan diri.”

”Kita harus mengejar babi sialan itu sekarang juga,” ujar Wan Meng yang dalam pandangan yang agak lamur melihat Xuan’er tidur nyenyak mlungker seperti ular.

”Kalian tak perlu mencariku di luar kamar. Bunuh ular sanca di kamar ini dan kalian akan segera menemukan aku secepatnya,” Lingshan berteriak.

Wan Meng dan utusan ketua Partai Bulan Merah tak mendengar teriakan Lingshan. Mereka hanya mendengar dengkur napas Xuan’er dalam tidur yang begitu nyaman dan tenteram. Setelah itu Wan Meng dan utusan ketua Partai Bulan Merah bergegas meninggalkan kamar tidur dan tak peduli apakah Xuan’er tahu mereka akan membunuh dan mencabik-cabik tubuh Lingshan di mana pun pembunuh bayaran itu diketemukan. (*)

Semarang, Januari 2023

TRIYANTO TRIWIKROMO

Pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa untuk Kumpulan Cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Surga Sungsang, bukunya yang lain, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis.


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!