News  

Seorang Pria Menyamar Sebagai Anak yang Hilang dari Tuan Tanah Kaya Raya

Seorang Pria Menyamar Sebagai Anak yang Hilang dari Tuan Tanah Kaya Raya

Suara.com – Pengadilan India memenjarakan seorang pria yang terbukti bersalah karena menyamar sebagai putra dari seorang tuan tanah kaya selama 41 tahun. Koresponden BBC, Soutik Biswas, merangkum kisah terkait penipuan ini serta betapa terlambatnya hukum ditegakkan.

Pada Februari 1977, seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun menghilang dalam perjalanan pulang dari sekolah di negara bagian Bihar, India. Saat itu adalah hari kedua ujian sekolah digelar.

Remaja yang hilang itu bernama Kanhaiya Singh, yang merupakan putra satu-satunya dari Kameshwar Singh, seorang tuan tanah kaya raya dan sosok berpengaruh di Distrik Nalanda.

Setelah kejadian itu, pihak keluarga mengajukan “laporan orang hilang” ke polisi.

Baca Juga:
Viral Wanita yang Kaya Raya Hanya dengan Jual Kencing, Mulai Harga Rp1,5 Juta

Tetapi upaya mencari Kanhaiya tidak membuahkan hasil. Ayahnya yang sudah tua sampai mengalami depresi dan mulai meminta pertolongan dukun. Seorang dukun di desa itu memberi tahu bahwa putranya masih hidup dan akan segera “muncul”.

Baca juga:

Lalu pada September 1981, seorang pria berusia 20-an tahun tiba di sebuah desa yang berjarak sekitar 15 kilometer dari desa tempat tinggal keluarga Kanhaiya Singh.

Pria itu mengenakan safron, mengatakan dia bisa menyanyi, dan memohon diberi pekerjaan. Dia mengaku kepada penduduk desa itu sebagai “putra orang terkemuka” dari Murgawan, desa tempat anak yang menghilang itu.

Tidak jelas apa yang terjadi selanjutnya. Tetapi desas-desus terkait kedatangan pria itu sampai ke telinga Kameshwar Singh, sehingga dia pun pergi ke desa itu untuk mencari tahu sendiri.

Baca Juga:
Rachel Vennya Peringati Hari Janda Sedunia: Stigma Janda Masih Buruk Padahal Ada yang Kaya Raya

Beberapa tetangga yang menemani Singh ke desa itu memberi tahu bahwa pria itu memang adalah putranya, lalu membawanya pulang.

“Mata saya rusak dan saya tidak bisa melihatnya dengan jelas. Kalau kalian bilang dia adalah anak saya, saya akan membawanya,” kata Singh kepada orang-orang itu, menurut catatan polisi.



Empat hari kemudian, kabar tentang kepulangan putranya sampai ke istri Singh, Ramsakhi Devi, yang pada saat itu sedang berkunjung ibu kota Negara Bagian, Patna, bersama putrinya, Vidya.

Dia pun bergegas kembali ke desa dan begitu tiba, dia menyadari bahwa pria itu bukan lah putranya.

Menurut Ramsakhi Devi, Kanhaiya memiliki “bekas luka di sisi kiri kepalanya” yang tidak ditemukan pada pria ini.

Pria ini juga tidak mengenali guru yang dulu mengajarnya di sekolah. Meski demikian, Singh yakin bahwa pria itu adalah putra mereka.

Beberapa hari pasca-kejadian itu, Ramsakhi Devi pun melaporkan pria itu atas kasus peniruan identitas.

Pria itu sempat ditangkap dan dipenjara selama satu bulan sebelum akhirnya dibebaskan dengan jaminan.

Selama empat dekade berikunya, terjadi kisah-kisah penipuan yang mengerikan di mana seorang pria berpura-pura menjadi putra tuan tanah yang hilang dan hidup bersama mereka.

Bahkan dengan status hukumnya yang dalam jaminan, pria itu masih bisa mendapatkan identitas baru, berkuliah, menikah, juga memiliki sejumlah identitas palsu.

Dengan identitas-identitas palsu itu, dia mengikuti pemilu, membayar pajak, merekam data biometrik untuk KTP, memiliki lisensi kepemilikan senjata, hingga menjual properti keluarga Singh seluas 37 hektare.

Dia menolak memberikan sampel untuk tes DNA agar bisa dicocokkan dengan putri dari Singh untuk membuktikan bahwa mereka adalah saudara kandung.

Bahkan di pengadilan, muncul fakta mengejutkan bahwa dia mencoba “membunuh” identitas aslinya dengan cara memalsukan akta kematian.

Kisah penipuan ini merupakan gambaran yang suram atas kegagalan penegak hukum India yang bergerak lambat bagaikan siput.

Hampir 50 juta kasus tertunda di pengadilan dan lebih dari 180.000 di antaranya bahkan telah tertunda selama lebih dari 30 tahun.

Anehnya, dalam dokumen resmi pria itu tercatat sebagai Kanhaiya Ji, yang merupakan sebuah gelar kehormatan di India.

Tetapi menurut hakim, pria itu terbukti bersalah atas kasus peniruan identitas, kecurangan, dan konspirasi yang membuat dia divonis hukuman penjara selama tujuh tahun.

Identitas aslinya adalah Dayanand Gosain, yang berasal dari sebuah desa di distrik Jamui dengan jarak sekitar 100 kilometer dari rumah yang dia “adopsi”.



Sebuah foto hitam putih menunjukkan sosok pria berkulit putih dengan kumis tipis dan mengenakan aksesoris penutup kepala.

Pria di foto itu adalah Dayanand Gosain. Foto tersebut diambil pada hari pernikahannya pada 1982 atau satu tahun setelah dia bergabung dengan keluarga Singh.

Banyak hal yang tidak jelas tentang Gosain sebelum dia tinggal bersama keluarga Singh.

Dokumen-dokumen resmi miliknya menunjukkan tanggal lahir yang berbeda-beda. Misalnya pada catatan di sekolah mengengah, dia tercatat lahir pada Januari 1966. Sedangkan pada KTP-nya dia lahir pada Februari 1960. Lain lagi dengan kartu identitas pemilihnya, di mana dia tercatat lahir pada 1965.

Sedangkan pada basis data pemerintah daerah pada 2009 untuk mendapatkan jatah sembako, usianya tercantum 45 tahun yang berarti dia lahir pada 1964.

Padahal menurut keluarganya, Gosain berusia “sekitar 62 tahun” yang dihitung berdasarkan tanggal lahirnya pada kartu nasional.

Ada beberapa hal yang bisa dikonfirmasi oleh penyelidik, salah satunya bahwa Gosain adalah anak bungsu dari seorang petani di Jamui yang memiliki empat anak. Dia bisa bernyanyi dan kesulitan mencari pekerjaan, lalu meninggalkan rumah pada 1981.

Seorang polisi senior di Jamui mengatakan bahwa Gosain pernah menikah muda, namun kemudian ditinggalkan oleh istrinya.

“Pasangan itu tidak memiliki anak, lalu istri pertamanya menikah lagi,” kata Kumar.

Dia juga melacak seorang pria di desa yang mengenali Gosain di pengadilan selama kasus itu bergulir.

“Sudah banyak yang tahu di desa asalnya bahwa Gosain tinggal bersama keluarga tuan tanah di Nalanda,” kata Hakim Manvendra Mishra.



Singh menikahkan Gosain dengan seorang perempuan dari kastanya sendiri, satu tahun setelah membawanya pulang.

Berdasarkan dokumen yang dimiliki keluarga itu, Gosain memiliki gelar sarjana bahasa Inggris, politik, dan filsafat. Perilakunya selama berkuliah juga disebut “memuaskan”.

Gosain kemudian memiliki dua putra dan tiga putri. Usai kematian Singh, dia mewarisi setengah dari rumah dua lantai yang berusia hampir seabad di wilayah Murgawan.

Setengah bagian rumah lainnya, yang dibatasi oleh tembok rendah, dimiliki oleh pewaris lain dari keluarga Singh.

Rumah itu menghadap ke sebuah tangki air besar, dikelilingi pohon mangga, jambu biji, dan dipagari dinding bata dan gerbang besi tidak bercat. Udara di sekitar rumah itu juga membusuk.

Rumah tersebut pernah dihuni oleh tiga generasi, membuat 16 kamar yang ada di dalamnya penuh dengan kehidupan.

Tetapi sekarang, rumah itu tampak hening dan mencekam. Halamannya tidak terawat dan mesin penggilingan gandum telah menua di salah satu sudutnya.

Putra sulung Gosain, Gautam Kumar, mengatakan bahwa ayahnya biasa tinggal di rumah dan mengelola sekitar 30 hektare lahan pertanian. Tanah itu menghasilkan beras, gandum, dan kacang-kacangan, yang sebagian besar ditanami oleh pekerja kontrak.



Menurut Kumar, keluarga itu tidak pernah membahas “kasus peniruan identitas” dengan ayahnya.

“Dia adalah ayah kami. Kalau kakek menerimanya sebagai putra, mengapa kita mempertanyakan itu? Bagaimana mungkin kamu tidak percaya dengan ayahmu?” tanya dia.

“Sekarang setelah bertahun-tahun, hidup dan identitas kami ikut terkatung-katung karena identitas ayah kami diambil. Kami hidup dalam cemas.”

Di pengadilan, Gosain pernah ditanya oleh Hakim Mishra tentang di mana dia tinggal dan dengan siapa dia hidup selama empat tahun menghilang.

Gosain mengelak menjawabnya. Dia mengatakan kepada hakim bahwa dia tinggal bersama orang suci di asramanya di Gorakhpur, sebuah kota di negara bagian Uttar Pradesh. Tetapi dia tidak bisa menghadirkan saksi untuk mendukung klaim itu.

Gosain juga mengatakan kepada hakim bahwa dia tidak pernah mengaku sebagai anak yang hilang itu. Dia mengatakan, Singh hanya “menerima saya sebagai putranya dan membawa saya pulang”.

“Saya tidak menipu siapa pun dengan peniruan identitas. Saya adalah Kanhaiya,” katanya.



Dalam satu-satunya foto yang ada, sebuah foto studio hitam putih, Kanhaiya Singh tampak memiliki rambut yang terbelah rapi, menggunakan kemeja berwarna terang, dan melihat ke arah kamera.

Ironisnya, Kanhaiya seolah telah dilupakan di Murhawan, sebuah desa sepi berpenduduk 1.500 orang, mayoritas beragama Hindu kasta atas.

Gopal Singh, seorang pengacara senior di Mahkamah Agung sekaligus kerabatnya, mengingat sosok Kanhaiya sebagai anak yang “pemalu dan ramah”.

“Kami tumbuh bersama, bermain bersama. Ketika dia menghilang, saya menangisinya,” kenangnya.

“Ketika pria itu muncul empat tahun kemudian, dia sama sekali tidak mirip dengan Kanhaiya, tetapi ayahnya bersikeras bahwa pria itu adalah putranya yang hilang. Jadi apa yang bisa kami lakukan?”

Kameshwar Singh merupakan seorang tuan tanah berpengaruh yang diperkirakan memiliki lebih dari 60 hektare tanah. Dia meninggal dunia pada 1991.

Selama hampir empat dekade, dia terpilih sebagai pemimpin dewan desa. Kerabatnya berprofesi sebagai pengacara di Mahkamah Agung hingga anggota parlemen.

Singh memiliki tujuh anak perempuan dan satu anak laki-laki dari dua pernikahannya. Kanhaiya merupakan yang bungsu, anak kesayangan sekaligus pewarisnya. Menariknya, Singh tidak pernah datang ke pengadilan untuk membela Gosain.

“Saya telah memberi tahu penduduk desa, kalau kami menemukan pria ini bukan anak saya, kami akan mengembalikannya,” kata Singh kepada polisi.


Kasus ini telah didengar oleh setidaknya belasan hakim selama empat dekade. Sampai akhirnya, pengadilan menggelar sidang selama 44 hari sejak Februari 2022 dan membacakan putusannya pada awal April silam.

Hakim Mishra memvonis Gosain bersalah. Pada Juni lalu, pengadilan yang lebih tinggi memperkuat putusan itu dan menjatuhkan hukuman tujuh tahun penjara kepada Gosain.

Menurut pengadilan, tujuh saksi yang meringankan Gosain tidak dapat dipercaya.

“Kami tidak pernah menganggap serius kasus ini. Seharusnya kami mengumpulkan bukti-bukti dengan lebih baik. Kami tidak pernah meragukan identitas ayah kami,” kata anak kandungnya, Gautam Kumar.

Drama di pengadilan mencapai klimaksnya dengan pembelaan yang menunjukkan sebuah sertifikat kematian atas nama Dayanand Gosain.

Namun data yang tercantum di dalam sertifikat itu tidak konsisten. Sertifikat itu diterbitkan pada Mei 2014, tapi menyatakan bahwa Gosain meninggal pada Januari 1982.

Seorang polisi, Chittaranjan Kumar, mengatakan bahwa dia tidak menemukan catatan kematian Gosain setelah memeriksa data di wilayah itu.

Pejabat setempat juga menyatakan kepadanya bahwa sertifikat itu “jelas palsu”. Menurut Kumar, “sangat mudah mendapatkan dokumen palsu di sini”.

Pengadilan pernah bertanya kepada para saksi dari pihak Gosain, mengapa sertifikat kematian dibuat 32 tahun setelah kematian. Mereka juga membantah bahwa itu adalah pemalsuan.

“Untuk membuktikan dirinya sebagai Kanhaiya, Gosain membunuh dirinya sendiri,” kata Hakim Mishra.

Bukti yang memperkuat kebohongan Gosain adalah penolakannya untuk memberikan sampel DNA. Padahal permintaan sampel DNA pertama kali diajukan oleh penuntut pada 2014.

Selama delapan tahun dia menahan diri dan baru pada Februari lalu dia menyampaikan secara tertulis penolakan untuk memberikan sampelnya.

“Tidak ada bukti lain yang diperlukan sekarang,” kata pengadilan. “Terdakwa tahu bahwa tes DNA akan mengungkap klaim palsunya.”

“Beban pembuktian terletak pada terdakwa untuk membuktikan identitasnya,” tambah hakim.


Menurut sejumlah pengacara, kebohongan Gosain bisa jadi hanya lah puncak gunung es.

Pengadilan meyakini ada kongkalikong yang lebih luas melibatkan sejumlah orang Murgawan yang membantu “menempatkan” Gosain ke dalam keluarga Singh sebagai putranya yang hilang.

Hakim menduga bahwa orang-orang ini kemungkinan membeli tanah milik keluarga Singh yang kemudian dijual oleh Gosain sebagai pewarisnya. Sayangnya, tuduhan itu belum diselidiki.

“Ada konspirasi besar yang dilakukan terhadap keluarga saya (untuk merebut) properti kami, mengambil keuntungan dari kesehatan suami saya yang buruk dan penglihatannya yang menurun,” ujar Ramsakhi Devi, yang meninggal pada 1995, kepada pengadilan.

Meski demikian, masih banyak pertanyaan yang belum terjawab dalam kisah penuh kepalsuan ini.

Bagaimana nasib tanah yang dijual oleh Singh menggunakan identitas palsu? Apakah tanah tersebut dapat diambil dari para pembelinya dan dibagikan kepada anak perempuannya sebagai pewaris? Bagaimana penanganan terhadap identitas palsu Gosain?

Dan pertanyaan yang paling penting adalah, dimana Kanhaiya?

Berdasarkan hukum India, seseorang yang menghilang selama lebih dari tujuh tahun dianggap meninggal. Tetapi, mengapa polisi tidak menutup kasus ini? Mungkin kah dia masih hidup?


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!