News  

Pakar: transisi energi bisa melalui elektrifikasi dari EBT

Pakar: transisi energi bisa melalui elektrifikasi dari EBT

Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada Sarjiya mengatakan salah satu strategi transisi energi yang efektif di sektor kelistrikan adalah melalui elektrifikasi yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT).

Sarjiya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu, menyebut strategi elektrifikasi penting untuk menciptakan lebih banyak permintaan terhadap energi listrik, sehingga peluang pasar untuk penggunaan EBT di sektor kelistrikan jadi lebih terbuka.

EBT di sektor kelistrikan saat ini, kata Sarjiya, sulit masuk ke masyarakat karena terlanjur biasa menggunakan energi fosil berupa BBM maupun LPG, di samping karena pasokan energi dari pembangkit listrik yang ada saat ini melebihi kapasitas dan tidak terserap optimal oleh masyarakat.

Elektrifikasi merupakan proses penggunaan energi listrik pada aktivitas-aktivitas yang sebelumnya tidak menggunakan listrik. Salah satu contohnya melalui transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak menjadi kendaraan listrik, atau penggunaan kompor listrik sebagai pengganti kompor gas.

Baca juga: Bappenas: Pemerintah hanya penuhi 11 persen kebutuhan anggaran EBT

Dalam upaya Indonesia bebas emisi dengan pemanfaatan sumber energi listrik, Chairperson Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Filda C. Yusgiantoro mengatakan realisasi kontribusi EBT dalam bauran energi nasional masih berada di bawah target yang telah ditetapkan berdasarkan RUEN.

Menurut dia, batu bara sebagai sumber energi pembangkit listrik masih mendominasi sebesar 66 persen, gas bumi 17 persen, dan EBT sebanyak 14 persen.

Sebelum pencapaian emisi nol karbon pada tahun 2060, diharapkan seluruh penyediaan listrik di Indonesia bisa bersumber dari EBT dan tidak lagi mengandalkan energi fosil sepenuhnya.

Hal tersebut dapat dicapai melalui program percepatan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), mempensiunkan PLTU hingga 2060 dengan beberapa regulasi, membangun penampungan energi dari EBT, serta melakukan program pengembangan hidrogen sebagai sumber energi bersih untuk sistem kelistrikan.

Founder & Principal Consultant CGEI Bambang Sriyono menyampaikan suatu tandon energi, yang perlu didukung dengan kecanggihan teknologi, modal, waktu, dengan memanfaatkan sumber energi listrik yang minim atau bahkan tanpa emisi di samping, masih ada keterbatasan pada kapasitas dan keluaran energi yang tidak selalu konstan.

Baca juga: PLN gandeng empat pemasok gas untuk pastikan pasokan pembangkit

Strategi elektrifikasi disebutkan memiliki tantangan baik teknis maupun non-teknis, seperti isu sosial dan politik. Pada transisi kompor LPG menuju kompor listrik misalnya, perlu dibuat produk kompor listrik yang kenyamanannya minimal setara dengan kompor LPG saat ini, baik dari aspek biaya maupun waktu yang diperlukan untuk memasak.

“Isu sosial atau kebiasaan di masyarakat ini harus jadi salah satu hal yang dipertimbangkan dalam program elektrifikasi,” katanya.

Selain itu, elektrifikasi juga berkaitan dengan isu energy equity dan energy security. Pada isu energy equity, energi seharusnya bisa diakses oleh siapapun dan di manapun dengan harga yang terjangkau.

Sementara energy security berarti bagaimana sebuah bangsa bisa mandiri dalam mencukupi kebutuhan energi. Sehingga bisa meminimalkan ketergantungan pasokan energi dari bangsa lain. Dengan demikian, transisi energi fosil menuju energi baru terbarukan dapat berjalan secara berkelanjutan.

Baca juga: Uni Eropa sebut resesi global berpotensi percepat transisi energi

Baca juga: Luhut sebut RI bisa capai net zero emission dengan potensi EBT 437 GW

Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: Satyagraha
COPYRIGHT © ANTARA 2022

Artikel ini bersumber dari www.antaranews.com.

error: Content is protected !!