News  

Kiai Wahab Ubah Tragedi Jadi Komedi

Kiai Wahab Ubah Tragedi Jadi Komedi

SETELAH dilahirkan di Surabaya 16 Rajab 1344 H atau bertepatan dengan 31 Januari 1926, Nahdlatul Ulama membentuk Komite Hijaz. Yakni, panitia yang mengemban misi pembebasan Kota Suci Makkah dan Madinah dari monokultur bermazhab menjadi multikultur, banyak mazhab.

Utusan NU yang akan bertemu Raja Ibnu Sa’ud akan mengusulkan bahwa Kota Suci tidak boleh dimonopoli satu mazhab saja. Makkah dan Madinah harus menerapkan kebebasan tata cara beribadah sesuai mazhab-mazhab yang berkembang.

Siapa yang diutus? Menurut keterangan Didin Ahmad Zaenudin, sejarawan dari Lesbumi, NU mengutus seorang ulama dari Kudus, Jawa Tengah: Allah yarham Kiai Raden Asnawi. ”Tidak ada nama selain Kiai Asnawi dari Kudus,” kata Didin yang meneliti naskah Komite Hijaz bersama Ahmad Ginanjar Sya’ban. Utusan NU ini diagendakan berangkat ke Hijaz bulan Syawal 1344 H/April 1926 atau tiga bulan setelah NU berdiri.

Misi Komite Hijaz ini adalah salah satu agenda utama NU dilahirkan. NU, yang terdiri atas ulama pesantren para pengikut mazhab fikih Imam Syafi’i (dan menerima mazhab Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal), cemas dengan cara pandang ulama Hijaz di bawah Raja Ibnu Sa’ud yang memaksakan pandangan agama satu mazhab saja.

Namun sayang, Kiai Asnawi yang waktu itu berumur 65 tahun terlambat datang ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Belum ditemukan tanggal kapal berangkat, tetapi Didin mengatakan, Kiai Asnawi tiba di pelabuhan tanggal 24 Syawal dan kapal sudah berangkat.

Setelah tertinggal kapal, Kiai Asnawi lalu mengirim telegram ke Singapura, menanyakan apakah ada kapal yang berangkat ke Hijaz. Telegram itu dijawab. Tetapi menginformasikan bahwa kapal lain juga sudah berangkat. Alhasil, Kiai Asnawi meninggalkan pelabuhan, yang pasti dengan kekecewaan dan suasana murung. Bahkan, karena membawa misi besar yang gagal karena persoalan ”sepele”, keterlambatan kapal ini sebuah tragedi.

Namun, saya mengangan-angan, kekecewaan atau tragedi terlambat naik kapal tidak berlarut-larut. Pertama, karena agenda-agenda lain, yaitu pendirian cabang-cabang NU, harus segera dilaksanakan. Kedua, saya berspekulasi bahwa kiai muda yang banyak menyiapkan gerakan NU sedari awal, yaitu Kiai Abdul Wahab Chasbullah, tidak terlalu ambil pusing dengan tragedi ketinggalan kapal. Kiai Wahab itu gampangan. Mungkin beliau hanya bilang kepada Kiai Asnawi yang seniornya itu dengan kalimat pendek saja: ”Jangan sedih, Kiai Asnawi, ini sudah takdir. Kita pikir langkah selanjutnya sambil ngopi-ngopi di kantor NU.”

Kantor PBNU waktu itu disebut Hoofd Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Jalan Sasak, Kota Surabaya. Di sinilah, saya mengatakan bahwa humor NU itu juga telah berumur satu abad, bukan saja NU-nya yang sudah seabad. Berdirinya NU juga menjadi momentum mengingat sikap Kiai Wahab, mengubah kekecewaan Kiai Asnawi menjadi ger-geran, mengubah tragedi menjadi komedi.

Bukan tanpa alasan saya berspekulasi tentang Kiai Wahab yang saat itu berumur 38 tahun. Kiai Wahab jangan dibayangkan di masa sekarang yang hanya diambil kesan sebagai ulama karismatik, ahli fikih dan ushul fikih, pengasuh pesantren tua, berani berijtihad politik, hingga kawannya Bung Karno. Di luar itu, Kiai Wahab adalah orang yang santai, easygoing, punya banyak siasat ”nakal” tetapi berguna, dan punya selera humor tinggi.

Kiai Saifuddin Zuhri dalam dua bukunya, Guruku Orang-Orang dari Pesantren dan Berangkat dari Pesantren, banyak mendokumentasikan humor Kiai Wahab yang orisinal, segar, dan berguna. Bayangkan, beliau pernah berfatwa yang isinya santri haram menjadi amtenar, pegawai era kolonial Belanda. Tetapi, Kiai Wahab tidak memberi dalil-dalil sebagaimana mestinya, melainkan cuma memberi kepanjangan amtenar dengan ”antum fin naar”, kalian di dalam neraka.

Humor tidak akan menyelesaikan urusan-urusan besar umat manusia, tetapi humor bisa menjadi perspektif lain dalam memandang, menilai, dan menyikapi fenomena yang terjadi. Itulah mengapa Kiai Wahab, lalu dilanjutkan Gus Dur, menggunakan humor sebagai alat komunikasi di banyak kesempatan, di hampir semua tema pembicaraan. Benar dan tidak sebuah humor tidak terlalu penting, tetapi kita membutuhkan makna yang terselip di dalam humor. Lebih dari itu, humor sering sekali menyembulkan hikmah, seperti humor yang dilontarkan Abu Nawas atau Nasruddin Hoja. (*)

*) HAMZAH SAHAL, Sekretaris LTN PBNU, penulis dua buku humor

 


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!