News  

Ibadah Ramadan di Balik Plang Segel Masjid Ahmadiyah Depok

Ibadah Ramadan di Balik Plang Segel Masjid Ahmadiyah Depok

Suara.com – Bulan Ramadan jadi momentum bagi umat muslim menjalani ritual ibadah untuk menimba pahala. Ketika umat muslim khusyuk beribadah, ternyata ada kalangan yang tidak bisa menjalani ibadah Ramadan dengan tenang. Adalah komunitas Ahmadiyah di Depok, mereka menjalani kegiatan Ramadan dibayang-bayangi diskriminasi.

Reporter Suara.com, Dea Hardiningsih Irianto berkesempatan mengikuti kegiatan sehari puasa Ramadan bersama warga Ahmadiyah Depok.

HUJAN lebat mengguyur wilayah Depok sore itu. Sederet sepeda motor memadati parkiran di perkarangan Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat. Sejumlah mobil juga terlihat memenuhi lahan di samping Masjid. Ini menunjukkan hujan tak menyurutkan semangat warga Ahmadiyah untuk beribadah di Masjid.

Di depan Masjid terpampang plang pemberitahuan; “Kegiatan Ini Dihentikan/Disegel,”. Tertanda Tim Penanganan Jemaat Ahmadiyah Pemerintah Kota Depok.

Baca Juga:
Kaesang Didukung Jadi Wali Kota Depok, Tanggapan Gibran Langsung Diserbu Warganet

Di belakang Masjid terdapat sebuah lapangan badminton, biasanya jadi arena remaja sekitar bermain bulu tangkis. Lapangan yang becek akibat diguyur hujan itu dibersihkan oleh dua orang Ibu-ibu agar tidak ada orang yang terpeleset.

Plang pemberitahuan penyegelan di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]
Plang pemberitahuan penyegelan di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]

Sore itu, tidak ada anak-anak maupun remaja yang berlarian untuk menepuk bola bulu di lapangan itu. Sebab, remaja dari warga Ahmadiyah Depok tengah mengikuti program Pra-Madrasah di sebuah ruang kelas belakang masjid. Sejumlah remaja tampak bersemangat mendekati gurunya di tengah ruang kelas.

Guru lelaki itu memperlihatkan potongan ayat suci pada layar laptopnya. “Coba lihat, coba lihat,” kata seorang remaja putri sambil berebut pandang dengan temannya. Mereka kemudian terbata-bata membaca layar laptop yang menunjukkan deretan kalimat dengan huruf Arab.

Menurut Ketua Jemaat Ahmadiyah Kota Depok Fadhil Ahmad, umumnya remaja para jemaah ini tidak hanya belajar membaca Al-Quran, tetapi juga belajar kajian-kajian keislaman.

Selain bulan Ramadan, anak-anak itu biasanya mengikuti kelas Pra Madrasah mulai dari pukul 8 pagi hingga 11 siang. Kemudian saat Ramadan, mereka belajar melalui subprogram Pesantren Kilat yang dimulai ba’da Zuhur hingga pukul 15.00 WIB.

Baca Juga:
Lepas Penat dan Cuaca Panas di Kota Pekanbaru saat Berbuka Puasa Pakai Resep Menu Rekomendasi Cincau Milk Tea

Namun kali ini, mereka masih terlihat antusias belajar di ruangan terang dengan lampu berwarna putih meski waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. “Hari ini ada pengajian gabungan, jadi mereka barengan sama orang tuanya juga sampai sore di sini,” kata Fadhil, Minggu, 26 Maret 2023.

Di saat para anak-anak dan remaja sibuk belajar, sejumlah Ibu-ibu jemaat justru berjibaku di sebuah dapur umum, belakang masjid. Maryani, seorang Ibu jemaah Ahmadiyah yang tinggal di seberang masjid mengaku telah menyiapkan takjil untuk buka puasa bersama sejak pukul 13.30 WIB. Dengan hati-hati, Maryani mengaduk kolak dalam dandang besar yang mengeluarkan asap panas.

Selang beberapa lama, Maryani meminta bantuan dua orang lelaki untuk mengangkat dan memindahkan dandang itu ke meja di dekat masjid. Kolak berisi potongan pisang, ubi, dan kolang-kaling itu diaduk perlahan agar suhunya turun.

Namun, para perempuan paruh baya itu mengakali suhu kolak dengan menyalakan sebuah kipas angin yang diarahkan ke tiga wadah besar berisi kolak. “Ini sudah jam berapa ya?” tanya Maryani kepada wan di sampingnya.

Dia khawatir waktu beduk Maghrib makin dekat. “Sudah 17.05,” jawab wanita itu sambil menatap layar ponselnya. Dibantu lima wanita lainnya, Maryani menuangkan kolak ke sekitar 150 gelas plastik menggunakan sendok sayur setelah asap panas dari kolak memudar.

Di dalam masjid, sebagian jemaah tengah fokus mendengarkan pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh Ustadz Ahmad Warisin, lalu ceramah keagamaan oleh Mubaligh Jemaat Ahmadiyah Abdul Hafidz Bahansubu.

Ibu-ibu jemaah Ahmadiyah Depok mengikuti ceramah menjelang berbuka puasa di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]
Ibu-ibu jemaah Ahmadiyah Depok mengikuti ceramah menjelang berbuka puasa di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]

Sedangkan Maryani dan teman-temannya masih menyiapkan hidangan untuk berbuka puasa untuk Jemaah. Beragam menu takjil tengah dihidangkan, ada kolak, es buah, teh hangat, dan nasi kotak dengan lauk ayam bakar dan ayam goreng kremes.

Gerimis masih membasahi tanah Sawangan kala waktu senja makin dekat. Hal itu tak mengurungkan niat anak-anak kecil warga Ahmadiyah mendekati Jalan Raya Muchtar depan masjid yang padat kendaraan melintas.

Mereka saling bantu untuk mengangkat 75 kotak berisi takjil menggunakan tiga kantong plastik basar warna merah dengan tangan-tangan kecil mereka. Bahkan, mereka memastikan Pak Acil, seorang juru parkir di depan masjid juga mendapatkan sekotak takjil.

Tidak butuh waktu lama, tiga plastik merah itu akhirnya kosong. Mereka kembali masuk ke dalam masjid dan bersiap untuk berbuka puasa.

Anak-anak dan remaja warga Ahmadiyah Depok membagi-bagikan takjil di Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]
Anak-anak dan remaja warga Ahmadiyah Depok membagi-bagikan takjil di Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]

Azan Maghrib berkumandang dan para jemaah mulai mengerubungi meja takjil. Meja bagian kanan diperuntukkan untuk jemaah laki-laki sementara perempuan mengambil air teh dan kolak di meja sebelah kiri. Mereka kemudian duduk berbaris di area belakang masjid untuk menikmati takjil yang dihidangkan Maryani dan teman-temannya.

Anak-anak yang berlarian ke sana ke mari membuat suasana berbuka puasa menjadi semakin ramai. Mereka berbuka puasa tepat di bawah plang yang juga berdiri di bagian belakang masjid. Plang itu bertuliskan “Kegiatan Ini Disegel”.

Selanjutnya, mereka melakukan salat Maghrib berjemaah sebelum menikmati nasi kotak dengan menu ayam bakar atau ayam goreng kremes yang disajikan lengkap bersama daun selada dan sambal merah. Setelah memasuki waktu Isya, mereka kembali salat berjemaah yang dilanjutkan dengan salat terawih 11 rakaat.

Kegiatan yang Disegel

Ditemui terpisah, Juru Bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yendra Budiana menjelaskan, warga Ahmadiyah Depok kembali menggunakan masjid Al Hidayah sejak dua tahun lalu. Masjid yang disegel sejak 2011 itu hingga saat ini masih memperlihatkan plang larangan kegiatan.

Namun, hal itu tidak membuat warga Ahmadiyah menghentikan kegiatan ibadah mereka yang sempat tak dilakukan di masjid tersebut selama 10 tahun. Pasalnya, Yendra yang sempat menjadi Ketua Ahmadiyah Kota Depok selama enam tahun itu menilai larangan yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Depok tidak memiliki dasar yang jelas. “Kalau segel biasanya bangunannya, di sana (Al Hidayah) bukan, ‘kegiatan ini disegel’ dan tidak ada keterangan kegiatan apa,” kata Yendra saat ditemui Suara.com di kawasan Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada Jumat, 24 Maret lalu.

Untuk itu, Yendra mengaku sempat menuliskan surat kepada Wali Kota Depok untuk mempertanyakan penjelasan lebih lanjut mengenai kegiatan yang dilarang di masjid Al Hidayah. Namun hingga saati ini tidak pernah ada jawaban dari Wali Kota Depok. “Di plang tetulis yang disegel itu kegiatan. Yang namanya disegel itu biasanya bangunannya karena melanggar tata ruang, misalnya atau izinnya,” ujar dia.

Plang pemberitahuan penyegelan di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]
Plang pemberitahuan penyegelan di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]

Menurut Yendra, Masjid Al Hidayah sudah memiliki Izin Mendirikan Bangunan atau IMB yang disetujui oleh masyarakat sekitar. Dia menyebut tidak pernah ada masyarakat sekitar yang terganggu dengan adanya kegiatan jemaah Ahmadiyah di masjid tersebut.

Meski sempat mendapatkan penolakan, kata Yendra, penolakan tersebut bukan berasal dari warga setempat, melainkan organisasi tertentu. Terlebih, jemaah Ahmadiyah kerap berkolaborasi dengan masyarakat setempat untuk mengadakan kegiatan-kegiatan keagamaan. Contohnya, berbagi sembako, kegiatan potong hewan kurban saat hari raya Idul adha yang juga membagikan daging kurban kepada warga sekitar.

Maka dari itu, Yendra menyebut tidak ada alasan untuk membuat Masjid Al Hidayah tidak digunakan sebagaimana fungsinya sebagai tempat ibadah. “Jadi, kami sebetulnya bukan membuka segel karena bukan bangunan juga yang disegel. Masjid ya sesuai fungsinya, jadi kami memfungsikan masjid sesuai fungsinya,” tutur dia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif SETARA Institute Halili Hasan menilai, pembatasan kegiatan ibadah terhadap jemaah Ahmadiyah tidak dapat dibenarkan karena konstitusi telah menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beragama dan beribadah. Hal itu tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat 2, yaitu ‘Negara Menjamin Kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu’. “Penyegelan masjid tersebut merupakan tindakan inkonstitusional, intoleran, dan diskriminatif. Tidak ada aturan negara satu pun yang melarang kegiatan peribadadatan, bahkan tidak juga di SKB 3 Menteri Tahun 2008 tentang Peringatan terhadap Ahmadiyah,” terang Halili saat dihubungi, Senin, 27 Maret kemarin.

Senada dengan Halili, Komisioner Komnas HAM Pramono Ubaid Tantowi mengatakan bahwa kebebasan beragama dan beribadah sesuai agama dan keyakinan adalah bagian dari HAM yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi bagi setiap warga negara. “Pelarangan ibadah penganut Ahmadiyah adalah bagian dari pelanggaran HAM sehingga tindakan seperti itu tidak dapat dibenarkan,” ujar Pramono menegaskan.

Anak-anak warga Ahmadiyah Depok belajar kajian Islam jelang ngabuburit, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]
Anak-anak warga Ahmadiyah Depok belajar kajian Islam jelang ngabuburit, Minggu (26/3/2023). [Suara.com/Dea]

Dia juga menyebut hak atas properti berupa rumah ibadah maupun rumah kediaman para penganut Ahmadiyah juga harus dihormati sehingga tidak dibenarkan adanya penyerangan, perusakan, maupun perampasan. Pramono juga menjelaskan penggunaan Masjid Al Hidayah oleh jemaah Ahmadiyah saat ini harus dihormati karena bangunan tersebut hanya digunakan untuk kegiatan internal jemaah. Bukan untuk menyebarkan ajaran Ahmadiyah kepada warga negara yang sudah menganut agama. “Sehingga keberadaan mereka tidak boleh dianggap membahayakan keimanan warga yang sudah menganut agama lain atau mazhab lain,” jelas Pramono.

Untuk itu, Komnas HAM mengimbau ummat Islam untuk memanfaatkan bulan Ramadan dengan memperbanyak ibadah serta menjauhkan diri dari tindakan-tindakan yang tidak mencerminkan kasih sayang kepada sesama manusia.

Perbedaan Pandangan

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 11/MUNAS VII/MUI/15/2005 tentang Aliran Ahmadiyah menyatakan kepercayaan yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad itu dilarang di Indonesia. Pasalnya, keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Muktamar II di Jeddah, Arab Saudi pada 22-28 Desember 1985 tentang aliran Qodiyaniyah menyatakan Ahmadiyah yang mempercayai Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi sesudah Nabi Muhammad dan menerima wahyu adalah murtad dan keluar dari Islam. Sebab itu mengingkari ajaran Islam yang qath’i dan disepakati oleh seluruh ulama Islam bahwa Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.

Untuk itu, Fatwa MUI menetapkan aliran Ahmadiyah berada di luar Islam, sesat dan menyesatkan. Serta orang Islam yang mengikutinya adalah murtad atau keluar dari Islam. Bagi orang yang terlanjur mengikuti Ahmadiyah, Fatwa MUI menganjurkan mereka untuk kembali kepada ajaran Islam yang haq sejalan dengan Al Qur’an dan hadist. “Pemerintah berkewajiban untuk melarang penyebaran paham Ahmadiyah di seluruh Indonesia dan membekukan organisasi serta menutup semua tempat kegiatannya,” demikian bunyi putusan dalam Fatwa MUI yang ditandatangani oleh Ma’ruf Amin selaku Ketua MUI saat itu.

Menanggapi hal itu, Yendra menyebut Fatwa MUI tidak mengikat karena sifatnya yang merupakan pandangan keagamaan. Meski begitu, dia menegaskan bahwa Ahmadiyah tetap menghormati Fatwa MUI.

Pernyataan Yendra ini sejalan dengan pandangan Halili yang menilai bahwa Fatwa MUI tidak harus diikuti oleh pemerintah dan negara. Terlebih, dia menilai Fatwa MUI tentang Ahmadiyah bukan hukum yang positif. “Fatwa MUI itu bukan hukum positif. Jadi pemerintahan negara, baik di tingkat pusat maupun daerah, tidak boleh mengacu dan tunduk pada fatwa MUI,” ujar Halili.

Lebih lanjut, Yendra menjelaskan bahwa Ahmadiyah sesuai dengan Islam yang diajarkan Rasul Muhammad SAW dengan ibadah yang tidak berbeda dengan aliran lain seperti meyakini Allah sebagai Tuhan yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya, memiliki 5 Rukun Islam dan 6 Rukun Iman, salat lima waktu menghadap Kakbah sebagai kiblat, membaca Al-Qur’an, dan lain sebagainya.

Namun, dia mengakui adanya perbedaan pandangan antara Ahmadiyah dengan Islam arus utama seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Yendra menjelaskan bahwa pandangan Islam arus utama meyakini Nabi Isa Bin Maryam yang selama ini berada di langit akan datang ke bumi pada akhir zaman. Islam pada umumnya meyakini bahwa sosok yang akan datang adalah Nabi Isa yang sama dengan nabi yang dilahirkan oleh Siti Maryam.

“Ahmadiyah tidak meyakini dia itu Nabi Isa yang dulu tetapi meyakini seperti Isa, bukan Nabi Isa, dan meyakini dia sudah datang yaitu pada wujud Hazrat Mirza Ghulam Ahmad as, pendiri Ahmadiyah,” ucap Yendra.

Kepercayaan itu didasari oleh anggapan bahwa Nabi Isa terdahulu telah wafat dan tidak bisa kembali lagi ke bumi. “Kalau orang Islam pada umumnya, Nabi Isa ada di langit, kalau Ahmadiyah menganggap Nabi Isa sudah wafat,” kata Yendra menutup ceritanya.


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

error: Content is protected !!