News  

Feodalisme dan Inferioritas dalam Kesusastraan Kita

Feodalisme dan Inferioritas dalam Kesusastraan Kita

Dalam majalah Tanah Air yang terbit di Amsterdam (12/1990), Wiji Thukul menulis sebuah puisi yang sebait isinya: ”Inilah puisi jalanan, puisi ngamen, puisi yang tidak butuh legitimasi dewan kesenian.” Puisi Wiji Thukul tersebut bisa dilihat sebagai sebuah pernyataan sikap dirinya sebagai seorang penyair. Bahwa untuk berkarya, dia tidak membutuhkan legitimasi dari siapa pun.

SEBUAH deklarasi untuk menolak feodalisme dan inferioritas dalam ruang sastra. Mengapa secara khusus Thukul menyebut dewan kesenian?

Pada masa Thukul hingga sekarang, dewan kesenian sering bertindak layaknya dewa dalam jagat kesusastraan. Dengan fasilitas yang dimiliki, dewan-dewan ini berusaha mengonstruksikan kualitas sebuah karya sastra: mana yang unggul, mana yang jeblok. Suara mereka pula yang menentukan apakah seorang seniman berhak atau tidak mendapat panggung untuk tampil.

Peran hegemonik dewan kesenian, terutama yang berada di pusat kekuasaan seperti Jakarta, begitu kuat terasa pada masa Thukul. Akibatnya, pada masa itu timbullah berbagai gesekan dan upaya resistansi, salah satunya gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman. Tujuan gerakan ini adalah melawan hegemoni Jakartasentris dalam ranah kesusastraan. Terlepas dari berhasil atau tidaknya Revitalisasi Sastra Pedalaman, gerakan ini telah menunjukkan usaha untuk menggugat ketimpangan kuasa antara pusat dan pinggiran, juga memutus rantai-rantai feodalistik yang membelenggu ranah sastra.

Sebagaimana disampaikan Pierre Bourdieu, medan sastra tidak bisa lepas dari medan kekuasaan. Adapun medan kekuasaan jelas dimiliki oleh siapa saja yang memegang kuasa atas aset ekonomi dan politik. Kekuasaan seperti inilah yang kemudian memberikan legitimasi terhadap karya sastra. Dalam kasus Pramoedya Ananta Toer, umpamanya, medan kekuasaan negaralah yang memberikan legitimasi atas pengharaman karya-karya Pram untuk dibaca dan diedarkan kepada publik. Sementara itu, dalam lingkup sastra dunia, Akademi Nobel mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam memberikan legitimasi atas karya-karya yang dianggap terbaik di muka bumi. Jelaslah terlihat bahwa medan kekuasaan berada di luar pengarang kendati dia sendiri mempunyai peran sentral dalam produksi kesusastraan. Inilah mengapa legitimasi lantas menjadi sesuatu yang sangat diburu.

Kekuasaan atas wilayah hegemonik tidak hanya berwujud negara, tapi bisa juga berupa lembaga kesenian, kantong-kantong kebudayaan, media massa, ajang anugerah sastra, hingga kesenioritasan dan tingkat keilmuan seseorang. Sebagaimana dalam masyarakat feodal, patron sastra adalah patriark yang memiliki kekuasaan luas. Di sisi lain, para pengarang yang memburu legitimasi patron-patron sastra adalah hamba sahaya. Selama ada pihak yang berkuasa dan dikuasai, di situlah terjadi relasi hubungan tuan-hamba sebagaimana yang ada dalam dunia sastra kita.

Kehadiran medan kekuasaan sebagai pemberi legitimasi sastra kian menyuburkan sikap feodal. Seorang pemula yang sedang berjuang mendapatkan posisi dalam dunia sastra akan berusaha mencari patron melalui lembaga-lembaga kesenian, sastrawan senior, atau kritikus sastra yang dianggap mumpuni. Tujuan si pemula sudah jelas: berburu legitimasi agar namanya dikerek tinggi-tinggi layaknya bendera sehingga bisa turut berkibar bersama nama-nama sastrawan termasyhur lain.

Warisan

Sebetulnya, feodalisme dalam proses pencarian legitimasi sudah berakar sejak lama. Pada zaman kerajaan, setiap pujangga merasa perlu mencari restu dari pemegang kekuasaan kala itu, entah dewa atau raja, hanya agar karyanya bisa diterima. Dalam kakawin Sumansantaka karya Mpu Monaguna, umpamanya, bukti penghambaan tersebut tercatat jelas. Tertulis pada pembukaan karya itu: ”Sang hyang-hyang pinakadidewa ini karas para kawi makatattwa ng aksara” (Sang yang mahadewa papan tulis penyair, dialah hakikat aksara tersurat). Adapun dalam pupuh 1 Sumansantaka, para dewa dipercaya sebagai tempat ”bersemayam pangeran segala penyair”, ”tersembunyi dalam serbuk pensil yang diruncingkan”, sehingga puisi pun ”berbunga kakawin dan berhias keindahan” untuk dijadikan ”sesaji kembang” kepada sang mahadewa.

Dalam masyarakat kesusastraan yang feodal, koneksi jelas lebih penting daripada kualitas karya. Mendekatkan diri kepada pihak pemegang otoritas sastra dipercaya bisa membuat sebuah karya buluk tampil berkilau bak karya adiluhung. Begitu pula si penciptanya: menjadi tampak lebih elite dan berkelas. Bahkan ketempelan nama sastrawan besar yang tepat juga ampuh membuat puisi kamar seorang pemula mendapat ketenaran instan dan namanya menggelembung sebesar paus. Situasi ini tentu dapat mengakibatkan kerusakan dalam ekosistem sastra. Salah satu bentuk kerusakan itu adalah lahirnya inferioritas dalam diri pengarang.

Pertunjukan inferioritas yang paling sering terjadi adalah, dengan bangga, seorang pengarang mengaku mengirimkan karyanya yang bakal terbit kepada seorang pesohor sastra demi memohon tanggapan. Terlepas dari apakah karyanya benar-benar dibaca atau hanya dilirik judulnya oleh sang pesohor, tanggapan itu sungguh sangat dinantikan. Kalaupun usaha tersebut berbuah satu–dua kalimat pujian kosong, bagi si pengarang, itu penting untuk mengukuhkan posisinya, mendongkrak kualitas karyanya, sekaligus menumbuhkan rasa percaya dirinya sebagai pengarang biasa-biasa saja yang bercita-cita tinggi.

Sejumlah pengarang juga membiasakan diri sowan ke kantor-kantor media massa demi melaporkan kegiatan kreatif terbaru mereka atau sekadar mencurahkan unek-unek receh. Alhasil, nama-nama mereka mestilah rajin muncul di media tersebut, bersanding dengan artis, penyanyi, dan para pesohor lain.

Disadari atau tidak, feodalisme dan inferioritas yang sudah ada sejak zaman pujangga keraton terwariskan hingga sekarang. Zaman boleh berganti, tapi sikap sebagian besar pengarang masa kini ternyata tidak jauh berbeda dengan pujangga zaman kerajaan. Jangan heran, karya sastra yang banyak bermunculan sekarang adalah karya sastra pengejar legitimasi, bukan yang berkualitas tinggi. (*)

ANINDITA S. THAYF, Novelis dan esais


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!