Tahun Baru Imlek di Bangka

Tahun Baru Imlek di Bangka

Saya tak pernah merasakan suasana Tahun Baru Imlek di Jawa seperti di Pulau Bangka, kampung halaman saya. Tentu hal ini lantaran perbedaan tradisi asal, juga kebiasaan yang terbentuk selama ratusan tahun oleh asimilasi antarbudaya maupun situasi politik nasional maupun lokal.

ORANG-ORANG Tionghoa di Jawa didominasi oleh suku Hokkien/Hoklo (Fujian) yang rata-rata berprofesi sebagai pedagang, sedangkan mayoritas penduduk Tionghoa di Bangka adalah suku Hakka (Kejia) dengan beragam latar pekerjaan. Di Bangka, umumnya hanya orang-orang Tionghoa berdomisili di perkotaan yang berniaga, sementara mereka yang tinggal di perkampungan melakoni pekerjaan yang sama dengan warga Melayu lokal, mulai petani, penambang timah, nelayan, hingga tukang bangunan. Profesi yang sama inilah yang membuat mereka tidak mengalami banyak kesulitan untuk berbaur secara alami dengan orang-orang Melayu, meskipun sebagian besar orang Tionghoa di Bangka (terutama di Belinyu, Jebus, dan sebagian wilayah Toboali, Muntok, dan Koba) sehari-hari berkomunikasi menggunakan bahasa Hakka (atau Khek) di dalam rumah, lingkungan, dan dengan sesamanya. Pembauran alamiah ini bukan saja menyebabkan sejumlah besar kosakata Hakka terserap ke dalam bahasa Melayu Bangka, tetapi juga membuat banyak orang Melayu dapat berbicara bahasa Hakka dengan cukup fasih. Hal ini berbeda dengan ”China Jawa” yang umumnya menggunakan bahasa Jawa karena tak lagi mengerti bahasa Tionghoa.

”Orang tua saya masih bisa menggunakan bahasa Hokkien, tapi mereka tak pernah mengajarkannya kepada kami. Sehari-hari di rumah sejak kecil kami bicara bahasa Jawa ngoko,” kata Tubagus P. Svarajati, budayawan Tionghoa Semarang, kepada saya beberapa tahun silam.

Alasan kenapa orang Tionghoa di Jawa enggan mengajarkan bahasa China (baik Mandarin maupun bahasa suku China lainnya) kepada anak-anak mereka ini mudah dimengerti. Tinggal di pusat kekuasaan rezim otoriter yang diskriminatif dan rasis, tentu tekanan yang mereka dapatkan jauh lebih besar dibandingkan dengan yang diterima oleh orang-orang Tionghoa di Bangka Belitung dan Kalimantan Barat, dua daerah yang memang menjadi wilayah konsentrasi orang Tionghoa sejak era kolonial Belanda. Selain dikekang oleh beragam peraturan diskriminatif-rasial oleh pemerintah Orde Baru, jumlah populasi mereka yang tak seimbang dengan besarnya populasi penduduk bumiputra juga merupakan salah satu faktor orang Tionghoa di Jawa takut menggunakan bahasanya sendiri.

Besarnya populasi masyarakat Tionghoa di Babel dan Kalbar inilah yang sering kali membuat beragam peraturan diskriminatif Orde Baru termasuk Inpres No 14 Tahun 1967 (yang menetapkan bahwa semua upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan dalam lingkungan keluarga dan ruangan tertutup) tidak bisa dijalankan secara efektif sebagaimana keinginan penguasa anti-China di Indonesia. Sehingga pemda setempat pun akhirnya terpaksa menyesuaikannya dengan kondisi lokal yang mereka beri catatan khusus.

Pembatasan penggunaan bahasa Mandarin memang berhasil dipaksakan lewat penutupan sekolah China dan media berbahasa China (kecuali Harian Indonesia yang dwibahasa), namun tidak begitu dengan bahasa Hakka yang telah menjadi ”bahasa ibu” dari generasi ke generasi. Bahkan banyak orang Tionghoa (yang tak berpendidikan Indonesia) sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia dan bahasa Melayu. Di ketiga daerah ini, orang Tionghoa juga kerap mengabaikan imbauan berganti nama dan tetap memberikan nama China kepada anak mereka.

Karena itu, semasa Orde Baru, Tahun Baru Imlek tetaplah bisa dirayakan dengan cukup meriah kendati tak boleh ada pertunjukan barongsai di jalan-jalan seperti saat ini. Toko-toko menutup diri selama tiga hari, orang-orang membersihkan dan menghias rumah, main kembang api dan petasan, serta melaksanakan Pai Ngien keliling (dari rumah ke rumah) dengan pakaian baru. Lantaran pada masa itu Tahun Baru Imlek bukanlah hari libur nasional di Indonesia, anak-anak sekolah biasanya akan menulis surat izin tidak masuk sekolah kepada wali kelas dengan alasan seperti hendak melaksanakan sembahyang tahun baru atau berkumpul bersama keluarga besar. Wali kelas, kepala sekolah, dan para guru pun memaklumi dan memberikan izin.

Selain memasak beragama masakan China yang didominasi daging babi, orang Tionghoa di Bangka juga membuat berbagai macam kue untuk disuguhkan kepada para tamu. Tamu-tamu yang datang berkunjung ini bukan hanya sanak keluarga, tetangga, teman, dan kenalan yang sesama Tionghoa, tetapi juga orang-orang Melayu. Biasanya sebulan menjelang tibanya tahun baru, ibu-ibu sudah sibuk membuat aneka kue kering sampai kue Mak Suba yang sering kami sebut Thai Pan (Kue Besar), sejenis kue lapis yang membutuhkan 20 butir telur. Mak Suba dan jenis-jenis kue kering yang sama juga dibuat oleh orang-orang Melayu untuk merayakan Lebaran Idul Fitri.

Masakan-masakan tahun baru yang dimasak di Bangka umumnya merupakan masakan Hakka. Baik masakan Hakka totok maupun yang sudah tergolong masakan peranakan seperti Babi Hong (Nem Nyuk). Kami tak pernah mengenal makan ikan bandeng pada Tahun Baru Imlek seperti tradisi China Hokkien di Jawa, apalagi masakan peranakan di Jawa seperti Lontong Cap Go Me. Bahkan sampai sekarang aku masih heran apa yang menyebabkan China Jawa makan Lontong Cap Go Me pada tahun baru, padahal dari namanya saja kita sudah tahu bahwa itu kuliner yang berkaitan dengan perayaan Cap Go Me (hari ke-15 bulan pertama kalender Imlek). Demikian pula halnya dengan Kue Keranjang yang di Jawa dianggap identik dengan Tahun Baru Imlek. Sebab bagi kami, Kue Keranjang yang kami sebut Thiam Pan (Kue Manis) adalah santapan pada perayaan Thian Chuan Ngit atau Hari Langit Bocor pada setiap hari ke-20 bulan satu kalender lunar.

Kiung hi Xin Ngian! (*)

SUNLIE THOMAS ALEXANDER, Penulis, lahir dan besar di Pulau Bangka


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!