Senator Papua Barat Tolak Sikap Ketua DPD RI yang Menghendaki Kembali ke UUD 1945 yang Asli

Senator Papua Barat Tolak Sikap Ketua DPD RI yang Menghendaki Kembali ke UUD 1945 yang Asli

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Anggota DPD RI dari Papua Barat, Filep Wamafma memberikan tanggapannya mengenai wacana untuk kembali ke naskah asli UUD 1945 yang dikaitkan dengan eksistensi sistem bikameral,

Gagasan ini sebelumnya dikemukakan Ketua DPD RI, LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Menurut Filep bikameral merupakan bagian dari amanat reformasi.

“Perjuangan reformasi ialah menghilangkan sentralisasi kekuasaan pada satu lembaga dan menegasikan lembaga yang lain, juga menghindari Power tends to corrupt. Untuk mencegah pemutlakan kekuasaan, maka perlu ada mekanisme saling mengawasi, termasuk dalam legislatif. Ini juga supaya UU yang dihasilkan di kamar DPR tidak menjadi sewenang-wenang,” ungkap Filep, Sabtu (21/1/2023).

Baca juga: Tim Penggugat UU Ciptaker Sebut Perppu Cipta Kerja Bentuk Pelecehan Terhadap MK, Bangkang UUD 1945

Menurut dia sebagai Ketua DPD, semestinya yang diperjuangkan ialah penguatan fungsi bikameral itu bukan melemahkannya.

“Penguatannya ialah melalui upaya afirmasi terhadap kewenangan DPD di bidang legislatif. Contoh saja, di Prancis, posisi Senat dan National Assembly di Prancis sebagai lembaga bikameral adalah sama kuat dan sejajar. Senat dan National Assembly sama-sama memiliki kewenangan mengajukan mosi tidak percaya kepada kebijakan pemerintah,” tegas Filep.

Senator Papua Barat ini lantas menambahkan bahwa apabila tidak ada sistem bikameral, maka tidak akan dikenal perwakilan dari daerah Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

“Jika bikameral itu tidak ada, maka provinsi-provinsi DOB seperti Papua Barat, Papua Tengah, Papua Pegunungan, Papua Barat Daya, Papua Selatan, tidak akan diwakili hak-hak kedaerahannya. Sebagai Ketua DPD RI, diharapkan dapat mengajak masyarakat untuk berpikir ke depan, bukan kembali pada masa Orba dengan sentralistiknya. Bikameral bukan penyimpangan, karena amandemen Konstitusi pun bukan hal yang tabu, karena diperbolehkan secara hukum,” ungkap Filep.

Menurut mantan Anggota Pansus Papua ini, apabila anggota MPR diisi oleh anggota DPR yang dipilih, utusan daerah yang diidealkan berasal dari raja-raja nusantara dan utusan golongan diisi dari para profesional dari organisasi-organisasi, maka dikhawatirkan akan melahirkan transaksi politik.

“Bayangkan saja jika utusan daerah berasal dari raja-raja nusantara, dan utusan golongan dari kaum profesional, bukankah justru akan melahirkan politik transaksional yang besar disana? Akan ada kepentingan-kepentingan tertentu disana, dan hak-hak konstitusional masyarakat di luar para raja dan para profesional dikhawatirkan justru akan dikebiri dan sangat tidak demokratis,” ujarnya.

“Terus terang saya cukup heran dengan pandangan Pak LaNyalla, karena bagaimanapun, DPD RI dilahirkan dari rahim reformasi. Potret perubahan Konstitusi yang melahirkan DPD, sejatinya bertujuan agar memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI, meningkatkan agregasi dan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijaksanaan nasional berkaitan dengan negara dan daerah, serta mendorong percepatan demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang,” tambahnya.

Filep juga menekankan bahwa para wakil daerah bukanlah wakil dari suatu komunitas atau sekat komunitas di daerah yang berbasis ideologi atau parpol ataupun keturunan tertentu. Menurutnya, wakil daerah adalah figur-figur yang dapat mewakili seluruh elemen yang ada di daerah.

“Jangankan DPD RI, persoalan Otonomi Daerah, termasuk Otsus, juga merupakan hasil amandemen dari Pasal 18 Konstitusi. Dulu kan Pasal ini lebih menekankan streek and locale rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka. Justru dengan amandemen Pasal 18, maka beberapa prinsp baru dapat diterapkan dan diakui, yaitu prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya dan bukan sekadar administratif, prinsip kekhususan dan keragaman daerah, serta prinsip menghormati masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya,” jelas Filep.

“Dengan prinsip itu pula maka masyarakat adat Papua contohnya, bisa meminta hak atas DBH Sumber Daya Alam, Hak atas tanah adat, hak atas pemberdayaan masyarakat adat dan lainnya. Jadi, mari berpikir ke depan. Jangan sampai DPD yang sudah berdiri ini, dan juga seluruh sistem lainnya, dikembalikan ke masa lalu. Kecuali kalau memang ada kepentingan lain di balik itu, ya jelas harus dilawan,” tutup Filep Wamafma.


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

error: Content is protected !!
Exit mobile version