Politik Kebencian dan Ajakan Anies Adu Gagasan

Politik Kebencian dan Ajakan Anies Adu Gagasan

Kamis, 4 Mei 2023 – 15:26 WIB

VIVA – Banyak pihak menilai, jika proses kandidasi saat ini menghasilkan hanya dua pasangan calon Presiden-Wakil Presiden, maka pembelahan sosial yang terjadi pada proses pemilu 2019 dan pilkada DKI Jakarta 2017 akan kembali terulang. Pada dua momentum kontestasi politik tersebut telah mendorong bangsa Indonesia ke tepi jurang berpecahan dan permusuhan horizontal. Ironinya, kondisi ini, menurut laporan pemantauan Serata Institute (2019) turut dipelihara elit (negara) dan oligarki sebagai komoditi politik melalui aparat serta kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan intolerans.

Benar kata Noam Chomsky dalam “Who Rules the World?”, bahwa sesungguhnya negaralah aktor utama yang melakukan tindakan radikalisme dan terorisme itu. Walaupun kritikan Chomsky berlatar di Amerika, namun pola-pola yang dilakukan Amerika dalam pengungkapannya selalu sama di setiap “pemerintahan boneka”, yang menjadi “petugas” dari, meminjam istilah George Orwel dalam “1984”, the big brother. Sebab melalui pemeliharaan tersebut, masyarakat akan dibelah sesuai latar belakang Suku, Ras, Agama, atau Golongan masing-masing. Dengan demikian, alokasi suara pemilih dapat dipastikan kepada siapa dalam Pemilu dan Pilkada.

Mengapa kampanye rasial dan etnik maupun intoleransi dan diskriminasi atas dasar agama atau keyakinan itu dilarang secara moral, politik, dan hukum? Memang harus diakui bahwa hate speech dan diskriminasi dapat terbuka lebar dalam setiap gelaran pesta demokrasi, namun mengakibatkan iklim demokrasi menjadi tidak kondusif juga memecah belah keutuhan bangsa. Propaganda itu bukan saja dapat mengumbar perbedaan dan sentimen yang berlebihan, melainkan juga dapat membangkitkan kebencian antara satu golongan terhadap golongan lainnya.

Kebencian yang dibangkit-bangkitkan ini lambat laun membara dan mengarah jadi tindak kejahatan. Jika itu meluas, sulit dihindari dari serangkaian tindakan destruktif, seperti perusakan dan kurusuhan. Puncak kejahatan yang didasari hasutan kebencian dan rangkaian tindakan yang bersumber dari pikiran ekstrem itu ialah kejahatan pemusnahan suatu golongan, yang disebut kejahatan genosida (genocide).

Untuk itu, jalan keluar pertama untuk mengantisipasi kondisi seperti ini tidak terjadi atau paling tidak meminimalisir dampak agar tidak terlalu luas adalah mendorong dan berharap mudahan-mudahan proses kandidasi yang dilakukan oleh elit partai politik saat ini dapat menghasilkan tiga pasang Calon Presiden-Wakil Presiden. Dengan tiga pasangan, ruang pembelahan dapat diperkecil. Jika itu terjadi maka konflik dan perpecahan dapat diantisipasi, sebab kelompok-kelompok politik akan relatif cair, serta penggunakan disksi politik yang mengandung kebencian, intoleransi serta diskriminatif cendung berkurang.

Selain itu, jalan kedua adalah, membangun iklim politik yang mengedepankan gagasan, narasi dan akal sehat. Melalui gagasan akan melihat politik secara rasional dan objektif, yaitu tentang leadership, program, visi dan rekam jejak yang baik. Bukan sebaliknya, politik tanpa gagasan, cicirinya selalu memunculkan fanatisme buta, sentimen SARA yang berlebihan, menyebar hoaxs, fitnah, kebencian, dan intolerans.

Sebenarnya, jenis politik seperti yang sedang coba dibangun oleh Anies R. Baswedan, melalui unggahan terbaru di akun media sosialnya sedang membaca buku berjudul “Principles for Navigating Big Debt Crises” By. Ray Delio, berisikan prinsip menangani krisis utang dengan baik. Berbagai elit dunia telah membaca buku ini, antara lain mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, Ben Bernanke (“Ray Dalio’s excellent study provides an innovative way of thinking about debt crises and the policy”), mantan Menteri Keuangan Amerika Larry Summers (“Ray Dalio’s Book is must reading for anyone who aspires to prevent for or manage through the next financial crisis”), dan terbaru, buku ini juga di review dalam WallstreetJournal.

Halaman Selanjutnya

Hal yang sama juga dilakukan Anies pada Desember 2020 lalu, dirinya mengunggah foto sedang membaca buku berjudul “How Democracies Die”, karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres, tetapi lekat dengan label ‘diktator’. Bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.


Artikel ini bersumber dari www.viva.co.id.

error: Content is protected !!