Menggerakkan Agenda Transisi Energi Butuh Modal dan Investasi Baru

Menggerakkan Agenda Transisi Energi Butuh Modal dan Investasi Baru

JawaPos.com – Perubahan iklim merupakan ancaman bagi dunia. Berdampak besar terhadap ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam keketuaan di ASEAN 2023, Indonesia mengajak negara-negara sahabat untuk menjaga agar situasi tidak semakin memburuk.

“Ini sangat penting karena ketika kita berbicara tentang dampak perubahan iklim dan degradasi alam yang lebih besar, akan menimbulkan konsekuensi ekonomi dan sosial jika tidak ditangani secara tepat dan diantisipasi sejak dini,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam high level seminar Aligning Policies for Climate Transition di Bali Nusa Dua Convention Center, Kamis (30/3).

Makanya, perubahan iklim merupakan salah satu dari tiga pilar agenda penting dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN 2023. Jika mampu mengatasi perubahan iklim dengan kesepakatan jalur keuangan (finance track) soal ini, maka bisa menahan potensi penurunan ekonomi global sampai 11 hingga 14 persen.

“Ini banyak dampak ekonomi dan sosial. Juga untuk ekonomi inklusif dan pertumbuhan dunia,” imbuh pria asal Sukoharjo itu.

Perry menyebutkan, tiga aspek penting untuk mewujudkan transisi transisi keuangan berkelanjutan dan ekonomi hijau. Yakni, kebijakan yang kuat dan kemauan politik dari otoritas, kerangka kerja transisi perubahan iklim yang jelas, dan kekuatan modal.

“Karena pada akhirnya, menggerakkan agenda transisi membutuh modal dan investasi baru. Yang lebih hijau, ramah lingkungan, serta inklusif,” jelasnya.

Menurut dia, negara ASEAN dengan masing-masing perbedaannya dalam kapasitas dan tantangan harus memiliki asistensi teknis dalam transisi hijau. Bank sentral berperan bukan hanya untuk mempromosikan keuangan hijau. Tapi juga pada tahap implementasinya. Terutama pada transisi keuangan.

BI berkomitmen bersama swasta dan pemerintah menuju Sustainable Development Growth (SDG). Implementasinya, seperti telah menerapkan sejumlah kebijakan di antaranya insentif likuiditas bagi bank yang menjalankan proyek hijau, asistensi teknis keuangan hijau berbalut loka karya untuk pemerintah daerah, manajemen cadangan devisa yang meliputi portofolio sektor hijau,dan sukuk.

Negara ASEAN sendiri dinilai cukup rentan terhadap perubahan iklim. Mempertimbangkan tingginya risiko bencana alam dan ketergantungan terhadap sektor yang sensitif terhadap iklim. Misalnya, sektor pertanian dan sumber daya alam (SDA). Juga masih tingginya populasi dan ekonomi berbasis pesisir.

Deputy Secretary General Financial Stability Board (FSB) Rupert Thorne memaparkan standar penerapan keuangan hijau dalam FSB Roadmap on Climate-related Financial Risks untuk meningkatkan efektivitas kebijakan yang meliputi empat aspek.

“Yaitu disclosure (pengungkapan), data, asesmen kerentanan, serta instrumen regulasi dan pengawasan,” jelasnya.

Director Finance United Nations Development Programme (UNDP) Marcos Neto menyampaikan arti penting pembiayaan transisi iklim untuk mendukung negara berkembang dalam agenda transisi. Hal ini membutuhkan kerangka transisi yang jelas. Agar memastikan konsistensi kebijakan dan dapat mendorong partisipasi sektor swasta.

Meski demikian, terdapat hambatan utama untuk transisi menuju emisi nol. Yakni kurangnya pendanaan bagi negara berkembang. Saat ini sektor swasta memegang peranan penting untuk aliran pendanaan.

Tercatat di 2022, transaksi pasar keuangan berkelanjutan negara ASEAN mencapai USD 82 miliar. Jumlah tersebut masih jauh dari potensinya. Cara mengoptimalkan potensi tersebut adalah dengan memenuhi sejumlah aspek.

“Di antaranya produk dan tools pembiayaan yang inovatif, aturan dan insentif, data dan pengungkapan, koordinasi internasional termasuk yang telah dilakukan dalam keketuaan ASEAN saat ini, serta manajemen risiko dan kebijakan,” paparnya.

Editor : Estu Suryowati

Reporter : Agas Putra Hartanto


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!