Ekonom: Skema Pemanfaatan Bersama Jaringan Listrik Bukan Solusi Pengembangan EBT

Ekonom: Skema Pemanfaatan Bersama Jaringan Listrik Bukan Solusi Pengembangan EBT

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Klausul power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan listrik dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bukan solusi tepat untuk mendorong pengembangan pembangkit. 

Klausul power wheeling dinilai berpotensi merugikan negara dan menambah beban penyertaan modal negara (PMN). 

Ekonom Drajad Wibowo mengatakan, saat ini negara sedang menghadapi tantangan kelebihan pasokan (oversupply) karena masih dalam tahap pemulihan ekonomi. 

Bahkan, kata Drajad, hingga tahun 2025, potensi oversupply ini bisa mencapai 9,5 GW. Terlebih lagi dengan adanya skema take or pay (ToP) yang mewajibkan PLN membayar kepada produsen listrik swasta (IPP).

“Justru dengan adanya skema power wheeling bisa mengganggu PLN dalam menyalurkan oversupply listrik ini. Tentu keuangan PLN terbebani, yang ujungnya akan minta PMN lagi dari Kementerian Keuangan,” ujar Drajad yang ditulis Selasa (24/1/2023). 

Menurutnya, potensi beban akibat oversupply saat ini sebesar Rp 21 triliun yang bisa meningkat hingga Rp 28,5 triliun jika pemerintah meloloskan skema power wheeling.

Sebelumnya, skema ini justru digadang pemerintah mampu meningkatkan pengembangan EBT di Indonesia.

“Persoalan utama EBT adalah seefisien apapun pembangkitnya, harga listrik EBT tidak mungkin bersaing dengan listrik dari batubara. Batubara merupakan sumber energi yang sangat murah, tapi kotor dan tidak terbarukan,” ujar Drajad.

Drajad mengungkapkan, saat ini harga listrik batubara hanya sekitar USD 3-5 sen/kWh. Sementara untuk EBT, harganya USD 6-7 sen/kWH untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), USD 7-8 sen/kWh untuk listrik biomassa. 

Baca juga: Skema Power Wheeling Dikhawatirkan Bebani Keuangan Negara, Prioritaskan Listrik ke Daerah Terpencil

Untuk geotermal di mana Indonesia memiliki sumber panas bumi terbesar kedua di dunia, harganya malah lebih mahal, antara USD 7-13 sen/kWh, kebanyakan di kisaran USD 11-12 sen/kWh. 

Dengan struktur harga seperti itu, lanjut Drajad, bagaimana logikanya power wheeling bisa membantu perkembangan EBT. Konsumen akhir jelas lebih memilih listrik batubara yang murah. 

Baca juga: Yulian Gunhar:  Power Wheeling Adalah Liberalisasi PLN dalam RUU EBET

Menurut dia, struktur harga EBT, solusinya bukan di power wheeling, tetapi kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

Baca juga: Dinilai Hanya Untungkan Swasta, Pemerintah Diminta Hilangkan Skema Power Wheeling di RUU EBT

Drajad mengimbau sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja dan menggantinya dengan kebijakan afirmatif yang membuat PLN sebagai offtaker dan konsumen akhir listrik EBT mampu bersaing meski membeli listrik EBT yang lebih mahal.

“Karena itu, sebaiknya pasal power wheeling ini dihilangkan saja. Kita fokus pada kebijakan afirmatif untuk mendorong EBT. Kebijakan afirmatif ini bisa berupa subsidi, bisa berupa insentif pajak, birokrasi dan sebagainya. Bukan power wheeling,” paparnya.

 
 


Artikel ini bersumber dari www.tribunnews.com.

error: Content is protected !!
Exit mobile version