4 Pimpinan DPRD Jatim Yang Dicegah ke Luar Negeri Terkait Kasus Sahat

4 Pimpinan DPRD Jatim Yang Dicegah ke Luar Negeri Terkait Kasus Sahat

JawaPos.com – KPK kemarin mengajukan pencegahan ke luar negeri empat pimpinan DPRD Jawa Timur (Jatim). Pengajuan ke Direktorat Jenderal Imigrasi itu berkaitan dengan kasus dana hibah.

Empat pimpinan dewan yang dicegah itu adalah Ketua DPRD Jatim Kusnadi serta tiga wakilnya: Anik Maslachah, Anwar Sadad, dan Achmad Iskandar. Pencegahan tersebut berkaitan dengan penyidikan KPK terhadap eks Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua P. Simanjuntak.

”Benar, masih terkait kebutuhan proses penyidikan perkara tersangka STPS (Sahat Tua, Red),” kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi kemarin (7/3).

Ali menjelaskan, langkah pencegahan tersebut diperlukan agar pimpinan DPRD Jatim itu tetap berada di Indonesia ketika tim penyidik hendak meminta keterangan. Ali pun meminta para pihak yang dicegah melancong ke luar negeri tersebut selalu kooperatif dengan KPK. ”Kooperatif hadir (pemeriksaan, Red) untuk memberikan keterangan dengan jujur di hadapan tim penyidik,” terangnya.

Sidang Dakwaan

Sementara itu, di Pengadilan Tipikor Surabaya kemarin, Abdul Hamid dan Imam Wahyudin didakwa menyuap mantan Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua P. Simanjuntak. Hamid yang menjabat kepala desa Jelgung, Sampang, Jatim, itu bersama Imam alias Eeng yang berperan sebagai koordinator lapangan dana hibah pokok pikiran (pokir) memberikan fee yang disebut uang ijon. Fee itu diberikan kepada Sahat agar mendapatkan kucuran dana hibah tersebut.

Jaksa penuntut umum KPK Arif Suhermanto dalam dakwaannya menyatakan, uang ijon yang diserahkan kedua terdakwa kepada Sahat sebesar 25 persen dari nilai jatah alokasi dana hibah. Hamid selaku kepala desa bisa mendapatkan keuntungan 5 persen dari pencairan tersebut. Eeng selaku koordinator lapangan mulai bekerja untuk mengajukan proposal pengajuan dana hibah dengan mengumpulkan KTP warga setempat.

Setiap warga dijanjikan mendapat Rp 1 juta. Data KTP dari warga itu kemudian digunakan Eeng untuk membentuk kelompok masyarakat (pokmas) calon penerima dana hibah. Kedua terdakwa lantas memberikan uang ijon senilai Rp 39,5 miliar kepada Sahat. Uang itu diberikan secara tunai. Selain rupiah, uang yang diberikan berupa dolar Singapura dan dolar Amerika Serikat.

Mereka kemudian mendapatkan alokasi dana hibah mulai 2021 hingga 2024 senilai total Rp 162,5 miliar. Perbuatan kedua terdakwa yang menyuap Sahat bukan kali itu saja. Sebelumnya, kedua terdakwa juga menyerahkan uang ijon sebanyak 25 persen untuk mendapatkan alokasi dana hibah Rp 30 miliar pada 2020 lalu.

Jaksa Arif dkk mendakwa kedua terdakwa dengan Pasal 13 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara. “Perbuatan para terdakwa yang menyerahkan Rp 39,5 miliar kepada Sahat untuk mendapatkan jatah alokasi dana hibah pokir bertentangan dengan kewajiban Sahat sebagai penyelenggara negara,” ujar jaksa Arif.

Sementara itu, kedua terdakwa tidak mengajukan nota eksepsi atau keberatan terhadap dakwaan jaksa KPK tersebut. Dengan begitu, sidang akan dilanjutkan dengan agenda pemeriksaan pokok perkara pekan depan. Kedua terdakwa menolak saat dikonfirmasi setelah persidangan. “Tidak, saya tidak mau berkomentar,” kata terdakwa Hamid ketika meninggalkan ruang sidang.

Editor : Ilham Safutra

Reporter : tyo/gas/c17/ttg


Artikel ini bersumber dari www.jawapos.com.

error: Content is protected !!
Exit mobile version